12.17

Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal: orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca. (CharlesHYPERLINK "http://katamutiara.info/kmi.php?tp=quoter&kk=Charles%20%22Tremendeous%22%20Jones" HYPERLINK "http://katamutiara.info/kmi.php?tp=quoter&kk=Charles%20%22Tremendeous%22%20Jones""Tremendeous" Jones)



Ketika berkunjung di toko buku berjejer apik buku-buku mewah, berasa ingin membawa pulang semua buku yang ada ditoko. Dari sampul-sampul yang di design rapi hingga judul yang menarik semua menggiurkan untuk dibaca. Tertarik dengan sebuah buku kemudian membalikkan buku untuk melihat harga, nyali menjadi ciut ketika harus mengeluarkan si lembar uang dari dompet tipis. Bisa ditebak kalau ingin memiliki buku yang bermutu dibawah harga 40 tak akan dapat rasanya. Semakin bernilai isi buku semakin mahal pula dari segi harga. Apalagi dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin selangit saja. Untuk menjangkau satu buku bisa di relakan puasa jajan satu bulan. Oooh sadis, begitu mahalnya engkau buku pintar. Padahal indonesia butuh buku untuk membaca.  Para siswa yang diwajibkan untuk membeli buku pelajaran dengan harga yang masih membebani orang tua? Jika hal untuk membaca dicegah dengan sebuah harga bagaimana memulainya? Mungkin Jawabannya bisa dimulai dari membaca dari iklan, membaca info pendek dari message. Hingga membaca status teman di Facebook (Oic.. dibawa-bawa juga) itu juga bisa di katakan membaca kan?
Sampai zaman ini bisa dibilang budaya membaca di Indonesia tergolong rendah. Mengingat ketersediaan buku di daerah-daerah yg belum terpenuhi. Sampai harga buku yang rata-rata mahal belum menjangkau semua kalangan masayarakat ke bawah. Padahal buku adalah salah satu bahan untuk mengetahui sumber ilmu maupun pengetahuan. Jika harga buku saja tak terjangkau bagaimana ilmu bisa didapat?
Apa faktor bangsa Indonesia tidak memiliki waktu luang membaca? Malas, atau karena anggapan membaca itu tidak penting? Kalau sebagian masyarakat Indonesia tidak dapat membeli buku yang diinginkan. Apakah hal tersebut bisa dibilang bangsa Indonesia miskin? Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari saja harus memeras keringat apalagi hanya untuk sebuah buku. Ironis!
Langkah terakhir adalah televisi. Media paling dekat dengan masyarakat. Tapi bagaiamana dengan acara televisi sekarang? Malahan banyak sekali acara sinetron yang hanya isinya monoton. Dari sinetron, Pencarian bakat? Bahkan sampai gosip gosip kehidupan selebriti, yang katanya digosok makin siip. Sampai kapan bangsa indonesia di suguhi tayangan seperti itu? Dari sekian channel TV Bisa dilihat TV mana yang benar benar memberikan acara yang bermanfaat.
Bagaimana dengan perpustakaan? Buku-buku banyak?
Anak sekarang bilang perpustakaan adalah tempat kuno, jarang dikunjungi, sepi, menakutkan.  Penuh dengan rak-rak buku yang berdebu yang datang hanya anak-anak yang berkacamata, yang wajahnya dapat di hapal setiap harinya. Yang katanya tempat gak gaul buat anak sekrang, yang kalau tak ada hotspotnya tak akan di datangi. Alih-alih baca buku malah buka jejaring sosial. Sesuai dengan minat membaca di indonesia yang semakin merosot. Hal-hal lain sudah dilakukan untuk menarik minta untuk membaca di perpustakaan. Tapi apa daya ?
Atau dengan fasilitas internet. Yang setiap jam nya di nilai dengan harga Rp. 3000. Atau malahan harus menghabiskan waktu di tempat warnet untuk membuka situs jejaring sosial?
            Bagi pengguna masyarakat mewah alat elektronik menjadi alternatif. Yang menyediakan aplikasi format buku yang paling canggih. Untuk mengaksesnya pun butuh biaya. Pertanyaan diulang lagi, apakah si pemilik alat elektronik memiliki waktu luang untuk untuk membaca?
            Untuk mengelabui harga buku yang selangit. Para mahasiwa mempunyai langkah kreatif terakhir yang paling canggih yaitu “Mbak, Mas, boleh pinjam bukunya?” atau copy paste dari Ebook di Internet.
Sampai kapan budaya membaca di Indonesia mahal? Mahal harga, mahal waktu, mahal arti, mahal pembacanya. Dimulai dari membaca? Dimulai dari mengerti dan dimulai dari melakukan.

(Ika Nur Diantika, Explant 2010)