21.42

Ilustrasi: berdikarionline.com/Explant
Tak terasa sebentar lagi di penjuru Nusantara ini akan bersaing, penerimaan Mahasiswa Baru  dimasing-masing perguruan tinggi akan dilaksanakan, ribuan lulusan Sekolah Menengah Atas maupun Kejuruan berlomba-lomba untuk masuk ke kampus idamannya. Beberapa Tes akan diberikan oleh PTN/PTS di Indonesia, penyaringan akan dilaksanakan besar-besaran, mulai dari tes dari masing-masing jalur sampai proses daftar ulang nantinya. Banyak yang harus dipersiapkan mulai mental dan uang saku yang lebih. Semua siswa yang telah lolos harus benar-benar siap merogoh gocek lebih untuk pembayaran Uang Kuliah Tunggal  sesuai fakultas/ jurusan /prodi memiliki besaran yang berbeda setiap perguruan tinggi di Indonesia.

Untuk memahami awal perjalanan sistem UKT dicanangkan, tentunya kita harus melihat dahulu dari landasan yuridis kebijakan tersebut.  Dimulai saat dikeluarkannya surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dari Kemendikbud yaitu tentang Uang kuliah Tunggal  Surat Edaran Dirjen Dikti No. 21/E/T/2012 Tertanggal 4 Januari 2012 Tentang Uang Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dirjen Dikti No. 274/E/T/2012 Tertanggal 16 Februari 2012 Tentang Uang Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dirjen Dikti No. 305/E/T/2012 Tertanggal 21 Februari  2012 Tentang Larangan Menaikkan Tarif Uang Kuliah, Surat Edaran Dirjen Dikti No. 488/E/T/2012 Tertanggal 21 Maret 2012 Tentang Tarif Uang Kuliah SPP di Perguruan Tinggi,  Surat Edaran Dirjen Dikti No. 97/E/KU/2013 Tertanggal 5 Februari 2013 Tentang Uang Kuliah Tunggal, Intinya dalam pengertiannya dapat disimpulkan bahwa UKT adalah suatu sistem pembayaran Uang Kuliah yang harus dibayar oleh mahasiswa secara ringkas dalam waktu satu kali pemabayaran penuh setiap semester tanpa ada pungutan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu sistem ini mengalami pro dan kontra dikalangan mahasiswa.

Setiap sistem pasti tidak ada yang sempurna, karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Seperti yang dikutip dari media cetak Buletin KomPost Explant, menyebutkan bahwa Mahasiswa Rekam Medis merasa keberatan dengan sistem tersebut. Mahasiwa tersebut beranggapan bahwa kebutuhan mengenai kegiatan perkuliahan, jika dihitung dengan uang kuliah tunggal yang dibayarkan tidak sebanding. Dalam bulletin tersebut disebutkan bahwa salah satu mahasiswa RMD menuturkan “UKT Rp. 6.000.000 terlalu mahal sedangkan fasilitasnya tidak memuaskan seperti fasilitas LAB, Wi-Fi, kamar mandi kurang bersih, AC-nya banyak yang mati,kursinya banyak yang rusak, komputernya banyak yang tidak berfungsi, kurangnya software untuk pembelajaran dan banyak virusnya.” Jika dilihat dari segi praktikum, program studi Rekam Medis sebagian besar menggunakan kertas dan komputer sebagai bahan praktikum.

Hal ini sangat berbeda dengan program studi Gizi Klinik yang juga berada di Jurusan Kesehatan. Setiap praktikum Gizi Klinik memerlukan bahan yang sangat banyak berkaitan dengan disiplin ilmu sehingga mahasiswa Rekam Medis merasa jika uang kuliah tunggal yang mereka bayarkan sebesar Rp 6.000.000;- tiap semester terlalu tinggi. Berdasarkan perbedaan bahan praktikum inilah yang akhirnya menjadi bahan perbincangan tentang besarnya uang kuliah tunggal antara program studi Gizi Klinik dan Rekam Medis.

Dengan perbincangan tersebut pihak birokrasi yaitu bapak Saiful Anwar selaku Wadir bidang sarana dan prasaran menjelaskan bahwa di Politeknik menerapkan sistem makro dalam pemungutan uang kuliah tunggal dari mahasiswa, dengan artian bahwa Sistem makro disini yang dimaksud yaitu semua dana yang masuk ke lembaga baik itu dari uang kuliah tunggal, penjualan produk unggul, dana yang didapat dari pemerintah dan pemasukan lain semuanya dikumpulkan menjadi satu, kemudian dikembalikan untuk kepentingan mahasiswa yang disesuaikan dengan keperluan Jurusan tiap awal tahun ajaran baru. Mekanisme penentuan uang kuliah tunggal yang diterapkan yaitu mengakumulasikan biaya lembaga dengan biaya Program studi dan kemudian dibagi dengan jumlah mahasiswa kemudian melalui surat keputusan Direktur ditetapkan nilai besaran UKT tiap mahasiswa berdasarkan Program studi yang ada. Bapak Saiful Anwar menambahkan ” Uang kuliah tunggal yang dibayarkan oleh mahasiswa digunakan untuk membiayai kegiatan yang berhubungan dengan mahasiswa itu sendiri dan meliputi biaya pembangunan gedung, biaya operasional praktek lapang, biaya pengadaan BKPM, subsidi mahasiswa berprestasi, sarana prasarana Komputer.”

Kutipan tersebut menyebutkan bahwa mahasiswa Rekam Medis merasa keberatan dengan apa yang mereka bayarkan tidak sesuai dengan yang didapat, seperti prasarana yang kurang maksimal. Memang tidak semua sistem akan berjalan dengan mulus, dalam hal ini sebuah sistem butuh yang namanya sosialisasi dan trasnparasi untuk mencegah hal-hal yang multi tafsir dari berbagai pihak. Selain, itu persaingan antar perguruan tinggi pun semakin besar, kata-kata manispun dilontarkan untuk memikat hati pelanggan, seperti layaknya barang komoditi yang ditawar ke khalayak ramai. Ini merupakan sedikit gambaran bagaimana sistem pendidikan di era globalisasi ini.

Berbicara pendidikan, Indonesia sudah 70 Tahun merdeka, tapi tampaknya pendidikan di Negara ini belum ‘merdeka’ untuk beberapa golongan, khususnya golongan menengah kebawah. Pemberlakuan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) oleh pemerintah harusnya perlu pembahasan lebih lanjut.

Perubahan sistem seharusnya didasari pada keinginan untuk mempermudah. Sangat diharapkan tentunya biaya yang murah dengan mutu yang baik menjadi salah satu andalan dari suatu perguruan tinggi yang menjadi favorit bagi berbagai banyak kalangan peminatnya.  Tetapi apabila sistem ini bisa memberatkan melalui nominal biaya kuliahnya, tentu pendidikan tinggi hanya milik orang-orang tertentu yang rela dan sanggup mengeluarkan rupiah lebih dalam untuk sebuah pendidikan yang pada dasarnya bisa dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Lantas bagaimana dengan bunyi  Pasal 31 UUD RI Tahun 1945/Perubahan IV Ayat 1 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,” dan pembukaan undang-undang dasar RI tahun 1945 yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pertanyaannya apakah pendidikan itu tempat mencerdaskan bangsa atau ladang komoditi yang berlomba-lomba mencari peminat?

Memang sejarah mencatat sejak pemerintahan kolonial belanda membuka sekolah-sekolah untuk kaum pribumi, pendidikan formal tidak pernah terlepas dari kepentingan politik ekonomi kaum yang sedang berkuasa, secara politik, ekonomi, maupun budaya. Lebih tegasnya, dunia pendidikan tidak pernah semata-mata atau terutam dimaksudkan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa atau memajukan ilmu pengetahuan dunia secara abstrak dan universal, atau menyejahterakan rakyat golongan menengah kebawah. Dunia pendidikan dijaman globalisasi ini sudah mengalami perubahan penting dan makro dalam beberapa tahun belakangan, bukan hal kiblat atau tujuan, tetapi dalam proses perangkat kerja yang selanjutnya berpengaruh pada tujuan pendidikan.

Berbagai gedung perkuliahan, perpustakaan, atau laboratorium dibangun gencar pada masa ini. Sebagaimana halnya rumah sakit, jaln raya, pusat pertokoan dan bank dikota-kota di Indonesia. Jumlah pendaftaran mahasiswa tiap tahun menjadi mekar, lama pendidikan semakin diperbendek, jumlah lulusan diusahakan maksimal serta meningkat secara berkesinambunga. Kantor keuangan semua lembaga pendidikan itu menjadi semakin sibuk oleh laju dan kecepatan berlalu-lintasnya rupiah yang masuk dan keluar. Semakin lama, semakin sulit bagi kantor lembaga pendidikan untuk mengelola sendiri kecepatan rupiah tersebut, mereka harus mengundang kerjasama dengan lembaga perbankan. Proses pendidikan semakin peka dan berkiblat pada pasaran kerja dalam masyarakat yang mendadak sibuk berindustrialisasi. Tempat parkir kampus, kantin, laboratorium dan perpustakaan selalu terasa sesak. Semua ini bukan hasil upaya atau keputusan satu orang atau kelompok yang berkuasa. Hal ini merupakan gelombang perubahan social mendunia yang melibatkan partisipasi jutaan orang dan lembaga, dengan campuran sikap menolak, menerima dan menghindar.

Seperti halnya perekonomian Indonesia, pendidikan Indonesia tidak saja mengalami proses industrialisasi tetapi juag mengalami proses internasionalisasi. Apakah perubahan itu sebuah bencan atau berkah? Yang jelas terjadi adalah bergantinya berkah lama menjadi berkah baru dan lenyapnya bencana lama digantikan dangan bencana baru. 

Oleh: Sugiyanto
Sumber: Buletin KomPost Explant edisi magang 2016