Ilustrasi: berdikarionline.com/Explant |
Tak terasa sebentar lagi
di penjuru Nusantara ini akan bersaing, penerimaan Mahasiswa
Baru dimasing-masing perguruan tinggi akan dilaksanakan, ribuan
lulusan Sekolah Menengah Atas maupun Kejuruan berlomba-lomba untuk masuk ke
kampus idamannya. Beberapa Tes akan diberikan oleh PTN/PTS di Indonesia,
penyaringan akan dilaksanakan besar-besaran, mulai dari tes dari masing-masing
jalur sampai proses daftar ulang nantinya. Banyak yang harus dipersiapkan mulai
mental dan uang saku yang lebih. Semua siswa yang telah lolos harus benar-benar
siap merogoh gocek lebih untuk pembayaran Uang Kuliah Tunggal sesuai
fakultas/ jurusan /prodi memiliki besaran yang berbeda setiap perguruan tinggi
di Indonesia.
Untuk memahami awal
perjalanan sistem UKT dicanangkan, tentunya kita harus melihat dahulu dari
landasan yuridis kebijakan tersebut. Dimulai saat dikeluarkannya
surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) dari Kemendikbud yaitu tentang
Uang kuliah Tunggal Surat Edaran Dirjen Dikti No. 21/E/T/2012
Tertanggal 4 Januari 2012 Tentang Uang Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dirjen
Dikti No. 274/E/T/2012 Tertanggal 16 Februari 2012 Tentang Uang Kuliah Tunggal,
Surat Edaran Dirjen Dikti No. 305/E/T/2012 Tertanggal 21
Februari 2012 Tentang Larangan Menaikkan Tarif Uang Kuliah, Surat
Edaran Dirjen Dikti No. 488/E/T/2012 Tertanggal 21 Maret 2012 Tentang Tarif
Uang Kuliah SPP di Perguruan Tinggi, Surat Edaran Dirjen Dikti No.
97/E/KU/2013 Tertanggal 5 Februari 2013 Tentang Uang Kuliah Tunggal, Intinya
dalam pengertiannya dapat disimpulkan bahwa UKT adalah suatu sistem pembayaran
Uang Kuliah yang harus dibayar oleh mahasiswa secara ringkas dalam waktu satu
kali pemabayaran penuh setiap semester tanpa ada pungutan lainnya. Namun
seiring berjalannya waktu sistem ini mengalami pro dan kontra dikalangan
mahasiswa.
Setiap sistem pasti
tidak ada yang sempurna, karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Seperti
yang dikutip dari media cetak Buletin KomPost Explant, menyebutkan bahwa
Mahasiswa Rekam Medis merasa keberatan dengan sistem tersebut. Mahasiwa
tersebut beranggapan bahwa kebutuhan mengenai kegiatan perkuliahan, jika
dihitung dengan uang kuliah tunggal yang dibayarkan tidak sebanding. Dalam
bulletin tersebut disebutkan bahwa salah satu mahasiswa RMD menuturkan “UKT Rp.
6.000.000 terlalu mahal sedangkan fasilitasnya tidak memuaskan seperti
fasilitas LAB, Wi-Fi, kamar mandi kurang bersih, AC-nya banyak yang
mati,kursinya banyak yang rusak, komputernya banyak yang tidak berfungsi,
kurangnya software untuk pembelajaran dan banyak virusnya.”
Jika dilihat dari segi praktikum, program studi Rekam Medis sebagian besar
menggunakan kertas dan komputer sebagai bahan praktikum.
Hal ini sangat berbeda
dengan program studi Gizi Klinik yang juga berada di Jurusan Kesehatan. Setiap
praktikum Gizi Klinik memerlukan bahan yang sangat banyak berkaitan dengan
disiplin ilmu sehingga mahasiswa Rekam Medis merasa jika uang kuliah tunggal
yang mereka bayarkan sebesar Rp 6.000.000;- tiap semester terlalu tinggi.
Berdasarkan perbedaan bahan praktikum inilah yang akhirnya menjadi bahan
perbincangan tentang besarnya uang kuliah tunggal antara program studi Gizi
Klinik dan Rekam Medis.
Dengan perbincangan
tersebut pihak birokrasi yaitu bapak Saiful Anwar selaku Wadir bidang sarana
dan prasaran menjelaskan bahwa di Politeknik menerapkan sistem makro dalam
pemungutan uang kuliah tunggal dari mahasiswa, dengan artian bahwa Sistem makro
disini yang dimaksud yaitu semua dana yang masuk ke lembaga baik itu dari uang
kuliah tunggal, penjualan produk unggul, dana yang didapat dari pemerintah dan
pemasukan lain semuanya dikumpulkan menjadi satu, kemudian dikembalikan untuk
kepentingan mahasiswa yang disesuaikan dengan keperluan Jurusan tiap awal tahun
ajaran baru. Mekanisme penentuan uang kuliah tunggal yang diterapkan yaitu
mengakumulasikan biaya lembaga dengan biaya Program studi dan kemudian dibagi
dengan jumlah mahasiswa kemudian melalui surat keputusan Direktur ditetapkan
nilai besaran UKT tiap mahasiswa berdasarkan Program studi yang ada. Bapak
Saiful Anwar menambahkan ” Uang kuliah tunggal yang dibayarkan oleh mahasiswa
digunakan untuk membiayai kegiatan yang berhubungan dengan mahasiswa itu
sendiri dan meliputi biaya pembangunan gedung, biaya operasional praktek
lapang, biaya pengadaan BKPM, subsidi mahasiswa berprestasi, sarana prasarana
Komputer.”
Kutipan tersebut
menyebutkan bahwa mahasiswa Rekam Medis merasa keberatan dengan apa yang mereka
bayarkan tidak sesuai dengan yang didapat, seperti prasarana yang kurang
maksimal. Memang tidak semua sistem akan berjalan dengan mulus, dalam hal ini
sebuah sistem butuh yang namanya sosialisasi dan trasnparasi untuk mencegah
hal-hal yang multi tafsir dari berbagai pihak. Selain, itu persaingan antar
perguruan tinggi pun semakin besar, kata-kata manispun dilontarkan untuk
memikat hati pelanggan, seperti layaknya barang komoditi yang ditawar ke
khalayak ramai. Ini merupakan sedikit gambaran bagaimana sistem pendidikan di
era globalisasi ini.
Berbicara pendidikan,
Indonesia sudah 70 Tahun merdeka, tapi tampaknya pendidikan di Negara ini belum
‘merdeka’ untuk beberapa golongan, khususnya golongan menengah kebawah.
Pemberlakuan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di seluruh Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) oleh pemerintah harusnya perlu pembahasan lebih lanjut.
Perubahan sistem
seharusnya didasari pada keinginan untuk mempermudah. Sangat diharapkan
tentunya biaya yang murah dengan mutu yang baik menjadi salah satu andalan dari
suatu perguruan tinggi yang menjadi favorit bagi berbagai banyak kalangan
peminatnya. Tetapi apabila sistem ini bisa memberatkan melalui
nominal biaya kuliahnya, tentu pendidikan tinggi hanya milik orang-orang
tertentu yang rela dan sanggup mengeluarkan rupiah lebih dalam untuk sebuah
pendidikan yang pada dasarnya bisa dirasakan oleh semua rakyat Indonesia.
Lantas bagaimana dengan bunyi Pasal 31 UUD RI Tahun
1945/Perubahan IV Ayat 1 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,” dan
pembukaan undang-undang dasar RI tahun 1945 yang berbunyi “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Pertanyaannya apakah pendidikan itu tempat mencerdaskan
bangsa atau ladang komoditi yang berlomba-lomba mencari peminat?
Memang sejarah mencatat
sejak pemerintahan kolonial belanda membuka sekolah-sekolah untuk kaum pribumi,
pendidikan formal tidak pernah terlepas dari kepentingan politik ekonomi kaum
yang sedang berkuasa, secara politik, ekonomi, maupun budaya. Lebih tegasnya,
dunia pendidikan tidak pernah semata-mata atau terutam dimaksudkan sebagai
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa atau memajukan ilmu pengetahuan dunia
secara abstrak dan universal, atau menyejahterakan rakyat golongan menengah
kebawah. Dunia pendidikan dijaman globalisasi ini sudah mengalami perubahan
penting dan makro dalam beberapa tahun belakangan, bukan hal kiblat atau
tujuan, tetapi dalam proses perangkat kerja yang selanjutnya berpengaruh pada
tujuan pendidikan.
Berbagai gedung
perkuliahan, perpustakaan, atau laboratorium dibangun gencar pada masa ini.
Sebagaimana halnya rumah sakit, jaln raya, pusat pertokoan dan bank dikota-kota
di Indonesia. Jumlah pendaftaran mahasiswa tiap tahun menjadi mekar, lama
pendidikan semakin diperbendek, jumlah lulusan diusahakan maksimal serta
meningkat secara berkesinambunga. Kantor keuangan semua lembaga pendidikan itu
menjadi semakin sibuk oleh laju dan kecepatan berlalu-lintasnya rupiah yang
masuk dan keluar. Semakin lama, semakin sulit bagi kantor lembaga pendidikan
untuk mengelola sendiri kecepatan rupiah tersebut, mereka harus mengundang
kerjasama dengan lembaga perbankan. Proses pendidikan semakin peka dan
berkiblat pada pasaran kerja dalam masyarakat yang mendadak sibuk
berindustrialisasi. Tempat parkir kampus, kantin, laboratorium dan perpustakaan
selalu terasa sesak. Semua ini bukan hasil upaya atau keputusan satu orang atau
kelompok yang berkuasa. Hal ini merupakan gelombang perubahan social mendunia
yang melibatkan partisipasi jutaan orang dan lembaga, dengan campuran sikap
menolak, menerima dan menghindar.
Seperti halnya
perekonomian Indonesia, pendidikan Indonesia tidak saja mengalami proses
industrialisasi tetapi juag mengalami proses internasionalisasi. Apakah
perubahan itu sebuah bencan atau berkah? Yang jelas terjadi adalah bergantinya
berkah lama menjadi berkah baru dan lenyapnya bencana lama digantikan dangan
bencana baru.
Oleh: Sugiyanto
Sumber: Buletin KomPost
Explant edisi magang 2016