11.16

ilustrasi: beritasatu.com/Explant

Mahasiswa takut pada dosen, dosen takut rektor, rektor takut pada menteri, 
menteri takut pada presiden, presiden takut pada mahasiswa. 
(Taufik Ismail).


Berita soal seruan dari Bapak Menteri Riset dan Teknologi  beberapa hari lalu yang mengejutkan publik, logikanya ini  Menteri Riset dan Teknologi, bukan Menteri Penjaga Moral dan Nilai Luhur, yang menyatakan bahwa kaum LGBT tidak selayaknya masuk ke kampus adalah nikmat hari Minggu yang luar biasa. Seruan ini sejajar level jantannya dengan bapak-bapak Polisi yang pemahaman akan undang-undang begitu hebat sampai lupa beda antara ‘berhenti’ dan ‘parkir’. Hal itu mungkin kurang seru jika kita tak menyenggol sikap mahaiswa era modern ini. Berbicara mahasiswa sejarah mencatat bahwa mahasiswa bagian dari perjalanan sejarah Indonesia yang memberi andil dalam perubahan social yang terjadi.


Menjadi mahasiswa yang di beri gelar Agent of change atau agent of control  kini patut dipertanyakan. Mungkin kita ingat dulu waktu kuliah hampir selesai kebiasaan dosen adalah Apa ada pertanyaan? Mulya sekali memberi ruang terhadap mahasiswanya. Pertanyaan itu tak jarang mendapatkan respon yang mengundang tawa seorang dosen, hasilnya Mahasiswa pun terkadang ada yang bertanya, terkadang geleng-geleng kepada sambil berkata “Masih belum pak/ibu”. Jika seperti ini dosen pasti bilang “saya sudah paham Mahasiswa, jika belum paham gak ada yang bertanya, jika ada pertanyaan malah bingung”. Intinya seperti itu sudah budaya dikalangan mahasiswa karena mahasiswa sendiri belum terbiasa dengan sitem berdialogis dalam kuliah dan sudah budaya sikap kritis mahasiswa dikekang oleh birokrasi kampus sehingga akhirnya berdampak pada kondisi perkuliahan.


Tindakan dosen dalam ruang Intelektual tersebut sangat bagus yang memberi ruang terhadap mahasiswanya, lantas apakah kebiasaan itu juga diberlakukan diluar kelas? Entahlah, dari sekian kasus mahasiswa banyak Birorkasi kampus membungkam kritis mahasiswanya, sangat berbeda ketika kita berada dalam kelas yang diberi kesempatan oleh dosen tapi, tentunya tindakan seperti ini tak semua dosen melakukannya.


Coba kita merefresh ingatan kita terdahulu, disetiap media menuliskan tentang kejadian 98 yang pada saat itu gerakan mahasiswa salah satunya menjadi bagian dalam penumbangan rezim Suharto. Entah kenapa di era globalisasi ini daya kritis mulai menurun, apakah karena takut ancaman seperti Mahasiswa UNJ yang di DO oleh Rektornya karena menyebarkan Broadcast mengenai keluhan mahasiswanya?.


Munkin kita pernah dengar nama-nama seperti Hariman Siregar, Syahrir atau Aini Chalid, mereka itu adalah aktivis dewan mahasiswa yang memiliki daya kritis tinggi yang hidup di era Orde Baru. Dimana waktu serikat-serikat buruh dibubarkan, sementara korupsi dan gaya hidup mewah di kalangan elit tambah mencolok. Kala itu, WS Rendra masih suka marah dari panggung ke panggung dengan Mastodon dan Burung Kondor.


Kata Rendra: /Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah/ Dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai/Dan sukmanya berubah menjadi burung kondor


Sampai sekarang, saya masih bingung dan terkadang ngeri membayangkan bagaimana sukma burung kondor itu. Sepanjang 1974 dan 1975, Hariman Siregar dan kawan-kawannya itu diadili. Beritanya diliput besar-besaran di semua koran. ingat Arief Budiman? Lagi-lagi seangkatan juga sama Hariman Siregar. Apalagi sekarang beliau juga jadi akademisi dan pernah menggagas “Gerakan Golput” saat menyambut Pemilihan Umum tahun 1971, menjadi pemimpin gelombang “Mahasiswa Menggugat” yang berani mendatangi Ketua Komisi Empat yang dibentuk untuk menyidik kasus korupsi pejabat. Ia temui langsung mantan Perdana Menteri tahun 1950-an, Wilopo, untuk menawarkan bantuan kalau Pemerintah nggak becus nanganin kasus para elit Orde Baru itu. Mahasiswa angkatan zaman dulu serem-serem ya?


Mahasiswa sekarang boleh dibilang sholeh sholeha. Kenapa tidak, mahasiswa sekarang nggak perlu nyari cara buat ketemu Menteri juga udah diajak makan malam sama Presiden. Nggak usah repot nawarin audiensi ke Komisi Pemberantasan Korupsi juga udah langsung jadi pembela utama partai dakwah. Kalau lagi rapatpun pada nyambi maen COC atau Duel Otak. Nggak ada angkernya dibanding mahasiwa dahulu.


Seperti yang dituturkan oleh Kalis Mardiasih dalam karangannya, mahasiswa sekarang mau rapat aja susah nentuin jam. Pada sopan dan sungkan bolos kuliah karena kebijakan Negara yang industrialis ini maunya buru-buru mencetak calon buruh hingga mahasiswa banyak yang mikirin konsep ideopolstratak itu. Entah apa yang membuat mahasiswa adem ayem aja melihat situasi yang kurang berpihak pada dirinya. Lantas bagaimana dengan gelar mahasiswa itu “agent of change, agent of control”, hal ini patut kita renungi kembali.


Sejarah mencatat dalam perjalanan Indonesia yang penuh dengan trial and error. Beberapa dinamika sosial yang selama ini terjadi tidak bisa dilepaspisahkan dari peran beberapa elemen masyarakat yang turut memberikan andil dalam setiap perubahan sosial (social exchange) yang terjadi, termasuk di dalamnya mahasiswa. Memang dinamika sosial tak bisa dipisahkan dengan mahasiswa


Menurut Abdul Ajiz seorang aktifis Human Illumination Mahasiswa pasca serjana UMI, memisahkan mahasiswa dari setiap dinamika sosial yang terjadi di Indonesia adalah seperti memisahkan gerak sejarah dari lokomotif yang menggerakan roda sejarah itu. Thomas Carlyle pernah menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia adalah biografi orang-orang besar, maka dalam konteks Indonesia, sejarah Indonesia merupakan biografi pergerakan mahasiswa Indonesia. Hal ini ditandai dengan besarnya  peran mahasiswa dalam setiap momentum-momentum penting perubahan sosial di Indonesia.


Deddy Yanwan mengatakan bahwa Sejarah telah menyaksikan berbagai peristiwa besar di dunia yang tidak lepas dari aktor intelektual di belakangnya.Kaum intelektual yang diwakili masyarakat kampus termasuk juga mahasiswa sering menjadi penggagas utama dalam setiap perubahan.
Namun belakangan ini, lahkah geraknya mahasiswa seperti telah kehilangan efektifitasnya terhadap problematika kebangsaan. Mahasiswa kekinian telah mengalami pergeseran format dan tujuan idealnya. hal ini mulai terjadi pasca terjadinya gerakan reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan Suharto dari kursi kekuasaannya yang telah ia duduki selama kurang lebih 32 tahun.


Ketika mahasiswa sudah tak mampu lagi melakukan rekayasa sosial (social enginering) maka itu menjadi alarm bahwa bangsa ini telah kehilangan element controlnya yang dikatakan oleh bung Karno sebagai “penyambung lidah rakyat”. gerakan mahasiswa hari ini terlalu mudah disusupi oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan ketajaman nalar kritis mahasiswa.   Menurut Abdul Ajiz dalam tulisannya menyatakan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan di indonesia khususnya pendidikan tinggi hari ini masih bersifat “robotik” yaitu sistem pendidikan yang mengekang kebebasan berpendapat dan berkreasi yang justeru  jauh dari cita-cita pendidikan yakni memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah merdeka.
 


Salah satu bentuk pengekangan itu yang sering terjadi adalah dengan menerapkan sistem DO atau ancaman lain seperti pencabutan dengan dalih merusak citra kampus. Sistem ini tentu menjadi ancaman bagi setiap mahasiswa yang ingin mengasah nalar kritis dalam sebuah organisasi dan perkumpulan-perkumpulan kemahasiswaan melalui forum-forum diskusi maupun dialog dan seminar serta pelatihan-pelatihan lainnya. Sistem pendidikan tinggi harus memberikan ruang yang cukup bagi mahasiswa untuk mengasah bukan saja kemampuan kognitif, tetapi juga harus mengasah kemampuan afektif dan juga psikomotorik.

Pramoedya Ananta Toer, pernah mengatakan, Semua yang terjadi di bawah kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berpikir. Dan mungkin yang dimaksud Pramoedya adalah kalangan intelektual, mereka yang berpikir dan hidup dalam gagasan-gagasan.Selain itu Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals mengatakan, seorang intelektual dengan status istimewanya berkewajiban memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian.


Tokoh revolusi Islam Ali Syariati menegaskan intelektual harus memainkan peran strategis mencerahkan lapisan masyarakat yang tertinggal. Ali Syariati mengungkap tugas intelektual adalah sebagai Rausyan Fikr, mencerahkan lapisan masyarakat yang terpinggirkan. Dan pada akhirnya bukanlah tidak mungkin kondisi yang diidealkan dalam konsep Civil Society atau Masyarakat Sipil bisa tercapai. Sebagaimana kata Fahri Hamzah, masyarakat sipil berperan kritis sebagai kontrol terhadap domain politik negara dan juga kontrol terhadap domain ekonomi. Dengan begitu, perlindungan terhadap rakyat baik individu maupun kelompok oleh kesewenang-wenangan dapat tercapai. Pergerakan mahasiswa yang kritis inilah yang dianggap dapat memberikan solusi perubahan terhadap tuntutan mahasiswa.


Tetapi dengan realita yang ada sekarang, mahasiswa belum maksimal dalam melakukan hal tersebut. Singkatnya, mahasiswa apatis masih terlalu banyak jika dibandingkan dengan mahasiswa yang responsible. Mahasiswa sekarang dibatasi dalam hal berfikir. Karena ditakuti adanya sebuah ancaman mulai dari hilangnya sebuah nilai akademik atau ancaman-ancaman yang lain yang bisa melunturkan daya kritis mahasiswa itu sendiri.


oleh: Sugiyanto