ilustrasi: beritasatu.com/Explant |
Mahasiswa takut pada dosen, dosen takut
rektor, rektor takut pada menteri,
menteri takut pada presiden, presiden takut
pada mahasiswa.
(Taufik Ismail).
Berita soal seruan
dari Bapak Menteri Riset dan Teknologi
beberapa hari lalu yang mengejutkan publik, logikanya ini Menteri Riset dan Teknologi, bukan Menteri
Penjaga Moral dan Nilai Luhur, yang menyatakan bahwa kaum LGBT tidak selayaknya masuk ke kampus adalah nikmat hari Minggu yang luar biasa.
Seruan ini sejajar level jantannya dengan bapak-bapak Polisi yang pemahaman
akan undang-undang begitu hebat sampai lupa beda antara ‘berhenti’ dan
‘parkir’. Hal itu mungkin kurang seru jika kita tak menyenggol sikap mahaiswa
era modern ini. Berbicara mahasiswa sejarah mencatat bahwa mahasiswa bagian
dari perjalanan sejarah Indonesia yang memberi andil dalam perubahan social
yang terjadi.
Menjadi mahasiswa
yang di beri gelar Agent of change
atau agent of control kini patut dipertanyakan. Mungkin kita ingat
dulu waktu kuliah hampir selesai kebiasaan dosen adalah Apa ada pertanyaan?
Mulya sekali memberi ruang terhadap mahasiswanya. Pertanyaan itu tak jarang
mendapatkan respon yang mengundang tawa seorang dosen, hasilnya Mahasiswa pun
terkadang ada yang bertanya, terkadang geleng-geleng kepada sambil berkata
“Masih belum pak/ibu”. Jika seperti ini dosen pasti bilang “saya sudah paham
Mahasiswa, jika belum paham gak ada yang bertanya, jika ada pertanyaan malah
bingung”. Intinya seperti itu sudah budaya dikalangan mahasiswa karena
mahasiswa sendiri belum terbiasa dengan sitem berdialogis dalam kuliah dan
sudah budaya sikap kritis mahasiswa dikekang oleh birokrasi kampus sehingga
akhirnya berdampak pada kondisi perkuliahan.
Tindakan dosen dalam
ruang Intelektual tersebut sangat bagus yang memberi ruang terhadap
mahasiswanya, lantas apakah kebiasaan itu juga diberlakukan diluar kelas?
Entahlah, dari sekian kasus mahasiswa banyak Birorkasi kampus membungkam kritis
mahasiswanya, sangat berbeda ketika kita berada dalam kelas yang diberi
kesempatan oleh dosen tapi, tentunya tindakan seperti ini tak semua dosen
melakukannya.
Coba kita merefresh ingatan kita terdahulu, disetiap
media menuliskan tentang kejadian 98 yang pada saat itu gerakan mahasiswa salah
satunya menjadi bagian dalam penumbangan rezim Suharto. Entah kenapa di era
globalisasi ini daya kritis mulai menurun, apakah karena takut ancaman seperti
Mahasiswa UNJ yang di DO oleh Rektornya karena menyebarkan Broadcast mengenai keluhan mahasiswanya?.
Munkin kita pernah
dengar nama-nama seperti Hariman Siregar, Syahrir atau Aini Chalid, mereka itu
adalah aktivis dewan mahasiswa yang memiliki daya kritis tinggi yang hidup di
era Orde Baru. Dimana waktu serikat-serikat buruh dibubarkan, sementara korupsi
dan gaya hidup mewah di kalangan elit tambah mencolok. Kala itu, WS
Rendra masih suka marah dari panggung ke panggung dengan Mastodon dan Burung
Kondor.
Kata Rendra: /Di
hari senja mereka menjadi onggokan sampah/ Dan di malam hari mereka
terpelanting ke lantai/Dan sukmanya berubah menjadi burung kondor
Sampai sekarang, saya
masih bingung dan terkadang ngeri membayangkan
bagaimana sukma burung kondor itu. Sepanjang 1974 dan 1975, Hariman Siregar dan
kawan-kawannya itu diadili. Beritanya diliput besar-besaran di semua koran.
ingat Arief Budiman? Lagi-lagi seangkatan juga sama Hariman Siregar. Apalagi
sekarang beliau juga jadi akademisi dan pernah menggagas “Gerakan Golput” saat
menyambut Pemilihan Umum tahun 1971, menjadi pemimpin gelombang “Mahasiswa
Menggugat” yang berani mendatangi Ketua Komisi Empat yang dibentuk untuk
menyidik kasus korupsi pejabat. Ia temui langsung mantan Perdana Menteri tahun
1950-an, Wilopo, untuk menawarkan bantuan kalau Pemerintah nggak becus nanganin
kasus para elit Orde Baru itu. Mahasiswa angkatan zaman dulu serem-serem ya?
Mahasiswa sekarang
boleh dibilang sholeh sholeha. Kenapa tidak, mahasiswa sekarang nggak perlu nyari
cara buat ketemu Menteri juga udah diajak makan malam sama Presiden. Nggak usah
repot nawarin audiensi ke Komisi Pemberantasan Korupsi juga udah langsung jadi
pembela utama partai dakwah. Kalau lagi rapatpun pada nyambi maen COC atau
Duel Otak. Nggak ada angkernya
dibanding mahasiwa dahulu.
Seperti yang
dituturkan oleh Kalis Mardiasih dalam karangannya, mahasiswa sekarang mau rapat
aja susah nentuin jam. Pada sopan dan sungkan bolos kuliah karena kebijakan
Negara yang industrialis ini maunya buru-buru mencetak calon buruh hingga
mahasiswa banyak yang mikirin konsep ideopolstratak itu. Entah apa yang membuat
mahasiswa adem ayem aja melihat situasi yang kurang berpihak pada dirinya.
Lantas bagaimana dengan gelar mahasiswa itu “agent of change, agent of control”, hal ini patut kita renungi
kembali.
Sejarah mencatat
dalam perjalanan Indonesia yang penuh dengan trial and error. Beberapa dinamika sosial yang selama ini terjadi
tidak bisa dilepaspisahkan dari peran beberapa elemen masyarakat yang turut
memberikan andil dalam setiap perubahan sosial (social exchange) yang terjadi, termasuk di dalamnya mahasiswa. Memang dinamika sosial tak bisa dipisahkan dengan mahasiswa
Menurut Abdul Ajiz seorang aktifis Human Illumination Mahasiswa pasca serjana UMI, memisahkan mahasiswa
dari setiap dinamika sosial yang terjadi di Indonesia adalah seperti memisahkan
gerak sejarah dari lokomotif yang menggerakan roda sejarah itu. Thomas Carlyle
pernah menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia adalah biografi orang-orang
besar, maka dalam konteks Indonesia, sejarah Indonesia merupakan biografi
pergerakan mahasiswa Indonesia. Hal ini ditandai dengan besarnya peran
mahasiswa dalam setiap momentum-momentum penting perubahan sosial di Indonesia.
Deddy Yanwan
mengatakan bahwa Sejarah telah menyaksikan berbagai peristiwa besar di dunia
yang tidak lepas dari aktor intelektual di belakangnya.Kaum intelektual yang
diwakili masyarakat kampus termasuk juga mahasiswa sering menjadi penggagas
utama dalam setiap perubahan.
Namun belakangan ini, lahkah geraknya mahasiswa seperti telah kehilangan efektifitasnya terhadap problematika kebangsaan. Mahasiswa kekinian telah mengalami pergeseran format dan tujuan idealnya. hal ini mulai terjadi pasca terjadinya gerakan reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan Suharto dari kursi kekuasaannya yang telah ia duduki selama kurang lebih 32 tahun.
Namun belakangan ini, lahkah geraknya mahasiswa seperti telah kehilangan efektifitasnya terhadap problematika kebangsaan. Mahasiswa kekinian telah mengalami pergeseran format dan tujuan idealnya. hal ini mulai terjadi pasca terjadinya gerakan reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan Suharto dari kursi kekuasaannya yang telah ia duduki selama kurang lebih 32 tahun.
Ketika mahasiswa
sudah tak mampu lagi melakukan rekayasa sosial (social enginering) maka itu menjadi alarm bahwa bangsa ini telah
kehilangan element controlnya yang dikatakan oleh bung Karno sebagai “penyambung
lidah rakyat”. gerakan mahasiswa hari ini terlalu mudah disusupi oleh
pihak-pihak yang tidak senang dengan ketajaman nalar kritis mahasiswa. Menurut Abdul Ajiz dalam tulisannya menyatakan bahwa proses
penyelenggaraan pendidikan di indonesia khususnya pendidikan tinggi hari ini
masih bersifat “robotik” yaitu sistem pendidikan yang mengekang kebebasan
berpendapat dan berkreasi yang justeru jauh dari cita-cita pendidikan
yakni memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah merdeka.
Salah satu bentuk pengekangan itu yang sering terjadi adalah dengan menerapkan sistem DO atau ancaman lain seperti pencabutan dengan dalih merusak citra kampus. Sistem ini tentu menjadi ancaman bagi setiap mahasiswa yang ingin mengasah nalar kritis dalam sebuah organisasi dan perkumpulan-perkumpulan kemahasiswaan melalui forum-forum diskusi maupun dialog dan seminar serta pelatihan-pelatihan lainnya. Sistem pendidikan tinggi harus memberikan ruang yang cukup bagi mahasiswa untuk mengasah bukan saja kemampuan kognitif, tetapi juga harus mengasah kemampuan afektif dan juga psikomotorik.
Salah satu bentuk pengekangan itu yang sering terjadi adalah dengan menerapkan sistem DO atau ancaman lain seperti pencabutan dengan dalih merusak citra kampus. Sistem ini tentu menjadi ancaman bagi setiap mahasiswa yang ingin mengasah nalar kritis dalam sebuah organisasi dan perkumpulan-perkumpulan kemahasiswaan melalui forum-forum diskusi maupun dialog dan seminar serta pelatihan-pelatihan lainnya. Sistem pendidikan tinggi harus memberikan ruang yang cukup bagi mahasiswa untuk mengasah bukan saja kemampuan kognitif, tetapi juga harus mengasah kemampuan afektif dan juga psikomotorik.
Pramoedya Ananta
Toer, pernah mengatakan, Semua yang terjadi di bawah kolong langit ini adalah
urusan setiap orang yang berpikir. Dan mungkin yang dimaksud Pramoedya adalah
kalangan intelektual, mereka yang berpikir dan hidup dalam
gagasan-gagasan.Selain itu Noam Chomsky dalam The Responsibility of
Intellectuals mengatakan, seorang intelektual dengan status istimewanya
berkewajiban memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian.
Tokoh revolusi Islam
Ali Syariati menegaskan intelektual harus memainkan peran strategis mencerahkan
lapisan masyarakat yang tertinggal. Ali Syariati mengungkap tugas intelektual
adalah sebagai Rausyan Fikr,
mencerahkan lapisan masyarakat yang terpinggirkan. Dan pada akhirnya bukanlah
tidak mungkin kondisi yang diidealkan dalam konsep Civil Society atau Masyarakat Sipil bisa tercapai. Sebagaimana kata
Fahri Hamzah, masyarakat sipil berperan kritis sebagai kontrol terhadap domain
politik negara dan juga kontrol terhadap domain ekonomi. Dengan begitu,
perlindungan terhadap rakyat baik individu maupun kelompok oleh
kesewenang-wenangan dapat tercapai. Pergerakan mahasiswa yang kritis inilah
yang dianggap dapat memberikan solusi perubahan terhadap tuntutan mahasiswa.
Tetapi dengan realita
yang ada sekarang, mahasiswa belum maksimal dalam melakukan hal tersebut.
Singkatnya, mahasiswa apatis masih terlalu banyak jika dibandingkan dengan
mahasiswa yang responsible. Mahasiswa sekarang dibatasi dalam hal berfikir.
Karena ditakuti adanya sebuah ancaman mulai dari hilangnya sebuah nilai
akademik atau ancaman-ancaman yang lain yang bisa melunturkan daya kritis
mahasiswa itu sendiri.
oleh: Sugiyanto