13.37

Ilustrasi: kartunmartono.wordpress.com/Explant
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.
Pasal 34 ayat UUD 1945


Kesenjangan kesejahteraan Indonesia sangatlah tragis tidak hanya krisis kepemimpinan, Indonesia juga krisis keadilan. Sangat miris memang melihat kondisi bangsa kita saat ini. Indonesia merupakan Negara agamis, namun tak mencerminkan selaku penganut yang berperilaku baik. Masalah terjadi dimana, kondisi politik memanas, rakyat kebingungan mana yang harus dipercayai semuanya membingungkan. Tak hanya membingungkan, Negeri ini juga mengherankan sampai membuat orang geleng-geleng kepala dan tersenyum sambil berkata lucunya negeri ini. Memang benar negeri ini sangat lucu kenapa demikian mungkin kita bisa melihat cerita film Alangkah lucunya (negeri ini) dimana hemat saya itu patut kita renungi bersama.

Tak hanya di dunia perfilman kisah ketidak adilan terjadi didunia nyata. Mungkin diakhir cerita film alangkah lucunya negeri ini menceritakan seorang bocah berdagang asongan yang dikejar-kejar oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan alasan mengganggu lalu lintas, pertanyaannya bagaimana dengan para koruptor di Indonesia yang bahkan sampai saat ini tambah merajalela bukankah dia yang merugikan Negara, kenapa penjual asongan dan pengemis dikejar-kejar dengan alasan mengganggu dan kaum intelektual yang merugikan Negera dibiarkan begitu saja. Saya fikir kisah itu hanya di drama perfilman saja, ternyata di kehidupan sehari-hari lebih lucu dari pada film tersebut, mau tertawa ya sedih rasanya melihat kondisi negeri ini, gak tertawa eman karena dramanya lucu.

Perjalanan yang berbeda dari biasanya, senin (25/01) perjalanan bus Bondowoso-Jember dimana saya bertemu dengan seorang pengemis dan beliaupun seorang Tuna Netra yang sudah ditinggal cerai oleh suaminya, tak hanya itu beliaupun hidup sebatang kara karena sanak familynya tidak mengakui karena beliau memiliki kekurangan. Kisah ibu ini hampir mirip dengan kisah film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang Directed oleh bapak Deddy Miswar, kisah yang megherankan dan nyata adanya. Berbeda dengan kisah dalam film tersebut, kisah beliau sangat memprihatinkan. Ibu Windari namanya, ibu yang tinggal di Jember ini hidup sebatangkara yang mencari rezeki melalui belas kasihan orang. Beliau memilih profesi ini bukan tak ada alasan selain beliau tak bisa melihat, alasan lain adalah tak ada modal yang cukup untuk berjualan. Berikut wawancara yang dilakukan oleh awak persma Explant saat dalam bus perjalanan Bondowoso-Jember.

Ibu kenapa memilih profesi ini?
Sebenarnya saya tidak ingin memilih profesi ini nak, tapi ini karena keadaan saya yang seperti ini. Saya coba mencari pekerjaan tapi tak ada yang menerimannya, jika saya ada sedikit modal ya saya gak mau menjadi seperti ini nak.

Berapa lama ibu menjalani profesi ini?
Baru aja nak belum sampai satu tahun tepatnya awal tahun 2015 kemaren. Tapi kalau kekurangan saya ini sejak tahun 2011. Sejak tahun itu keluarga saya tidak mengakui saya dan saya diusir dari rumah oleh sepupu saya karena saya memiliki kekurangan ini

Waktu Ibu mencari rejeki ibu pernah di kejar-kejar Satpol PP dan di tangkap berapa kali?
Pernah nak, waktu dialun-alun dan ditangkap  lalu ditanya-tanyai oleh bapak-bapak. Saya pernah ditangkap 3x dan setiap ditangkap ditanya-tanya dan diberi tahu untuk tidak melakukan hal ini lagi. Setelah saya tanya kenapa tidak diperbolehkan, pihak Satpol PP menjawab katanya gak boleh karena mengganggu dan karena saya tidak punya persatuan.

Jika pihak pemerintah membantu ibu dan memberi sedikit modal, apa yang ibu lakukan?
Ya pastinya saya bersyukur dan berterimakasih sekali atas bantuan tersebut, dan modal itu akan saya jadikan untuk berjualan seperti buka toko kecil-kecilan itu.

Apa harapan ibu untuk pemerintah?
Harapan saya ya saya mendapat bantuan, dulu waktu saya diintrogasi saya pernah didata menjadi peserta Bedah Rumah, tapi kenyataannya saya gak dapat. Saya ingin sekali mendapatkan bantuan dari pemerintah dan apalagi Bedah Rumah itu.

Itu sedikit wawancara dengan ibu Windari yang penuh dengan harapan, begitu mirisnya nasib beliau. Pertanyaannya dimana posisi pemerintah bukannya hal ini tugas pemerintah sesuai pasal 34 ayat UUD 1945 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.

Saya bingung menafsirkan maksud dari bunyi undang-undang tersebut, apakah yang dimaksud fakir miskin itu adalah orang yang mencari nafkah cukup untuk makan saja, atau para kaum intlektual yang duduk disana dan mengatasnamakan rakyat itu. Entahlah.[]


oleh: Sugiyanto
Sumber: Ibu Windari warga asli Jember.