Ilustrasi: kartunmartono.wordpress.com/Explant |
Pasal
34 ayat UUD 1945
Kesenjangan kesejahteraan Indonesia sangatlah tragis tidak
hanya krisis kepemimpinan, Indonesia juga krisis keadilan. Sangat miris
memang melihat kondisi bangsa kita saat ini. Indonesia merupakan Negara agamis,
namun tak mencerminkan selaku penganut yang berperilaku baik. Masalah terjadi
dimana, kondisi politik memanas, rakyat kebingungan mana yang harus dipercayai
semuanya membingungkan. Tak hanya membingungkan, Negeri ini juga mengherankan
sampai membuat orang geleng-geleng kepala dan tersenyum sambil berkata lucunya
negeri ini. Memang benar negeri ini sangat lucu kenapa demikian mungkin kita
bisa melihat cerita film Alangkah
lucunya (negeri ini) dimana hemat saya itu patut kita renungi bersama.
Tak hanya di dunia perfilman
kisah ketidak adilan terjadi didunia nyata. Mungkin diakhir cerita film alangkah lucunya negeri ini menceritakan
seorang bocah berdagang asongan yang dikejar-kejar oleh Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) dengan alasan mengganggu lalu lintas, pertanyaannya bagaimana
dengan para koruptor di Indonesia yang bahkan sampai saat ini tambah merajalela
bukankah dia yang merugikan Negara, kenapa penjual asongan dan pengemis
dikejar-kejar dengan alasan mengganggu dan kaum intelektual yang merugikan Negera dibiarkan begitu saja. Saya fikir kisah itu hanya di drama perfilman saja, ternyata di kehidupan
sehari-hari lebih lucu dari pada film
tersebut, mau tertawa ya sedih rasanya melihat kondisi negeri ini, gak tertawa
eman karena dramanya lucu.
Perjalanan yang berbeda dari biasanya, senin (25/01) perjalanan
bus Bondowoso-Jember dimana saya bertemu dengan seorang pengemis dan beliaupun
seorang Tuna Netra yang sudah ditinggal cerai oleh suaminya, tak hanya itu
beliaupun hidup sebatang kara karena sanak familynya
tidak mengakui karena beliau memiliki kekurangan. Kisah ibu ini hampir mirip
dengan kisah film “Alangkah Lucunya
(Negeri Ini)” yang Directed oleh
bapak Deddy Miswar, kisah yang megherankan dan nyata adanya. Berbeda dengan
kisah dalam film tersebut, kisah
beliau sangat memprihatinkan. Ibu Windari namanya, ibu yang tinggal di Jember
ini hidup sebatangkara yang mencari rezeki melalui belas kasihan orang. Beliau memilih
profesi ini bukan tak ada alasan selain beliau tak bisa melihat, alasan lain
adalah tak ada modal yang cukup untuk berjualan. Berikut wawancara yang
dilakukan oleh awak persma Explant saat dalam bus perjalanan Bondowoso-Jember.
Ibu kenapa memilih
profesi ini?
Sebenarnya saya tidak ingin memilih profesi ini nak, tapi
ini karena keadaan saya yang seperti ini. Saya coba mencari pekerjaan tapi tak
ada yang menerimannya, jika saya ada sedikit modal ya saya gak mau menjadi
seperti ini nak.
Berapa lama ibu
menjalani profesi ini?
Baru aja nak belum sampai satu tahun tepatnya awal tahun
2015 kemaren. Tapi kalau kekurangan saya ini sejak tahun 2011. Sejak tahun itu
keluarga saya tidak mengakui saya dan saya diusir dari rumah oleh sepupu saya
karena saya memiliki kekurangan ini
Waktu Ibu mencari
rejeki ibu pernah di kejar-kejar Satpol PP dan di tangkap berapa kali?
Pernah nak, waktu dialun-alun dan ditangkap lalu ditanya-tanyai oleh bapak-bapak. Saya pernah ditangkap 3x dan setiap ditangkap ditanya-tanya dan diberi tahu
untuk tidak melakukan hal ini lagi. Setelah saya tanya kenapa tidak
diperbolehkan, pihak Satpol PP menjawab katanya gak boleh karena mengganggu
dan karena saya tidak punya persatuan.
Jika pihak pemerintah
membantu ibu dan memberi sedikit modal, apa yang ibu lakukan?
Ya pastinya saya bersyukur dan berterimakasih sekali atas
bantuan tersebut, dan modal itu akan saya jadikan untuk berjualan seperti buka
toko kecil-kecilan itu.
Apa harapan ibu untuk
pemerintah?
Harapan saya ya saya mendapat bantuan, dulu waktu saya
diintrogasi saya pernah didata menjadi peserta Bedah Rumah, tapi kenyataannya
saya gak dapat. Saya ingin sekali mendapatkan bantuan dari pemerintah dan
apalagi Bedah Rumah itu.
Itu sedikit wawancara dengan ibu Windari yang penuh dengan harapan, begitu mirisnya nasib beliau. Pertanyaannya dimana posisi
pemerintah bukannya hal ini tugas pemerintah sesuai pasal 34 ayat UUD 1945
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.
Saya bingung menafsirkan maksud dari bunyi undang-undang
tersebut, apakah yang dimaksud fakir miskin itu adalah orang yang mencari nafkah
cukup untuk makan saja, atau para kaum intlektual yang duduk disana dan mengatasnamakan
rakyat itu. Entahlah.[]
oleh: Sugiyanto
Sumber: Ibu Windari warga asli Jember.