13.23
sumber:http://www.arahjuang.com/
“Liberalisasi Pendidikan akan membawa illicit education trade seperti penjualan gelar dan ijasah, pendirian sekolah oleh kelompok politik-teologi yang mengajarkan nilai nondemokratis, pembajakan hak kepemilikan intelektual”.
Moises Naim

Mungkin tidak semua kalangan civitas akademik di lingkungan pendidikan tinggi mengetahui apa itu Pendidikan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), salah satunya Mahasiswa. Kenapa saya menyampaikan demikian, Mahasiswa di Politeknik Negeri  Jember misalnya, tidak semua kalangan mahasiswa mengerti dan paham tentang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, dibuktikan ketika Direktur Polije menyampaikan amanat dalam memperingati HUT RI ke-71 bahwa Polije diundang oleh Menteri untuk Membahas PTNBH bersama dengan 13 Politeknik Negeri lainnya di Indonesia, kebanyakan mahasiswa merasa senang dan bertepuk tangan seakan Polije meraih medali emas di Olimpiade RIO 2016.

Saya tidak menyalahkan mahasiswa kenapa kaum intelektual seperti mahasiswa kurang memahami hal tersebut, mungkin kekurangpahaman mahasiswa disebabkan oleh kebijakan yang diterapkan birokrat demi memenuhi tuntutan pasar.

Perlu diketahui bahwa kebijakan PTN Badan Hukum merupakan isi dari UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU Dikti) tepatnya pada Pasal 65 yang telah menyatakan hal tersebut dengan gamblang. Tepat pada tanggal 13 Juli 2012, pemerintah mengesahkan sebuah UU yang mengatur pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia. UU yang telah dibahas sejak 2010 (setelah UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang  Badan Hukum –selanjutnya disebut UU BHP— Pendidikan dibatalkan) ini akhirnya disahkan, walau menghadapi berbagai penolakan publik, terutama dari civitas perguruan tinggi.

Mengutip artikel yang ditulis oleh  Richard A.M. Napituputu, (2012) dengan judul Menyikapi Lahirnya UU Pendidikan Tinggi No 12 Tahun 2012 menjelaskan bahwa pokok pemikiran awal munculnya UU Dikti ini adalah menjadikan pendidikan sebagai alat untuk bersaing dan kemitraan antar bangsa dalam era globalisasi. Tujuannya agar mampu mewujudkan satu sistem pendidikan tinggi yang menghasilkan intelektual, ilmuwan profesional yang berbudaya, kreatif, toleransi, demokatis, dan berkarakter tanggap serta berani membela kebenaran kepentingan bangsa dan umat indonesia. Untuk itulah, UU Pendidikan Tinggi diperlukan agar pendidikan tinggi dapat memenuhi keinginan pemerintah sebagai sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa.

Pertanyaannya apakah Pendidikan Tinggi yang menerapkan UU Dikti ini  sudah mewujudkan sistem pendidikan tinggi yang demokratis, serta berani membela kebenaran? Saya rasa tidak, sebab  Perguruan Tinggi Badan Hukum dengan otonomnya seakan memainkan haknya tersebut seenaknya sendiri, penerapan BPI, Penerapan sistem seleksi dari beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) misalnya yang sangat jauh dari kata Demokratis. Saya tidak paham kenapa Birokrat begitu bernafsu menerapkan kebijakan ini, apakah karena untuk menghemat anggaran? Entahlah hanya Birokrat dan Tuhan yang tahu.

Berbicara Otonomi kampus, merupakan sebuah sistem yang “menyesatkan”. Mengapa tidak “menyesatkan”, lha wong otonomi perguruan tinggi masih dipersoalkan. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat dan pimpinan perguruan tinggi. Misalnya terkait otonomi non-akademik seperti dana pendidikan. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan perguruan tinggi menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa. Itu masih menyangkut otonomi non-akademik, belum lagi menyangkut soal otonomi khusus dibidang akademik.

Selain itu, semangat otonom ditujukan bukan untuk memperbaiki pendidikan tinggi di Indonesia melainkan untuk memenuhi kebutuhan pasar, sebagaimana yang disampaikan oleh Heru Nugroho (2006) dalam karangannya Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa semangat otonomi yang lahir setelah masa reformasi pada kenyataannya justru melahirkan ‘banalitas intelektual,’ yaitu munculnya intelektual yang gemar mengerjakan proyek, tampil sebagai selebriti akademik, namun melupakan produksi pengetahuan di kampusnya.

Hal ini terbukti dengan dituntutnya mahasiswa harus mengejar juara dalam kompetisi, bukan mengejar pengetahuan dalam sebuah lembaga pendidikan, dengan alasan demi nama baik birokrat, sudah pasti seperti itu, karena demi mencapai visi menjadikan Politeknik Negeri Jember terkemuka di Asia tahun 2025.

Selain itu, mahasiswa dijadikan produk untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Hadiz dan Robison (2004) dikutip dari Umar (2012), menjelaskan bahwa praktik-praktik kekuasaan baru  semakin mengarah pada peneguhan ‘kekuasaan pasar’ yang  muncul kembali pasca-keruntuhan Orde Baru. Konsekuensi paling nampak dari peneguhan kekuasaan pasar adalah komersialisasi dan pencabutan sedikit demi sedikit subsidi atas pendidikan tinggi dengan dalih otonomi kampus.

***

Sejek disahkan UU Pendidikan Tinggi No 12 tahun 2012, banyak penolakan yang muncul dari beberapa kalangan, salah satunya Mahasiswa. Penolakan ini bukan tanpa alasan, beberapa elemen masyarakat menganggap hal ini bisa menjadikan Pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lagi, namun dimungkinkan terjadinya praktik komersalisasi dan liberalisasi

Sebagaimana  yang dikutip dari tulisan Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. (2012) dalam karangannya yang berjudul UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme, menyatakan bahwa putusan pembatalan UU BHP terlihat jelas bahwa konsep ‘Badan Hukum’ yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dimaksud bukanlah nama atau bentuk hukum tertentu, melainkan fungsi penyelenggaraan pendidikan. Jika yang dimaksud adalah ‘Badan Hukum’ secara kelembagaan, konsekuensnya masih akan sangat memungkinkan PTN melakukan praktik komersialisasi dan liberalisasi, di antaranya melalui pendirian badan usaha ataupun kerjasama industri. Maksud dari Komersialisasi disini adalah pendidikan dijadikan instrument untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri, bukan sebagai proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat. Sedangkan liberalisasi adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan. Dengan demikian nantinya akan ada pendidikan yang dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan berorientasi kepada laba.

Sehingga posisi PTN yang menerapkan sistem ‘Badan Hukum’ mengisyaratkan adanya otonomi non-akademik serta kebebasan PTN untuk menentukan ‘tarif’ sendiri. Hal ini dipertegas oleh PP 58/2013 yang memberi dasar operasional bagi penentuan PTN Badan Hukum.

Dengan demikian penerapan sistem Badan Hukum ini akan menyebabkan persaingan antar pendidikan tinggi. Kondisi ini akan membuat pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat dengan dalih pengembangan institusi. Maka hal ini akan menyebabkan ketimpangan sosial, hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas.

Hidup Mahasiswa!!!!



Oleh: Sugiyanto