19.10
Ilustrasi Hukum. Doc. Istimewa
Menulis tentang pikiran dan perasaan yang terdalam tentang trauma yang mereka alami menghasilkan suasana hati yang lebih baik, pandangan yang lebih positif dan kesehatan fisik yang lebih baik
Pennebeker
 Mungkin kalimat tersebut telah menggugah hati saya untuk menulis hal ini, tidak ada maksud lain selain untuk menyampaikan isi hati saya tentang sistem keorganisasian mahasiswa Politeknik Negeri Jember untuk kelanjutan organisasi kedepannya.
Berbicara mengenai “Menulis tentang pikiran dan perasaan terdalam” dari kutipan Pennebeker, otak saya langsung terfokus pada tanggal 17 Juni. Namun, saya bertanya-tanya kenapa dengan tanggal tersebut, apa yang terjadi? Mari luangkan waktu sejenak.
Tanggal 17 juni merupakan hari dimana dilakukan pembangunan jalur kereta api pertama di pulau jawa, hari dimana patung liberty tiba di kota New York, hari dimana Brasil menjadi juara Piala Dunia FIFA 1962. Tak hanya itu, tanggal 17 Juni merupakan tanggal yang istimewa dalam berdirinya Republik Islandia, begitupun dengan KM-Polije yang akan membangun kebersamaan dan kekeluargaan melalui sidang istimewa.
Sidang istimewa ini merupakan acara yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) demi menjalankan fungsinya sebagai badan legislatif. Kata legislatif mungkin bukan hal yang asing di telinga para organisatoris maupun mahasiswa pada umumnya. Jika diibaratkan dengan pemerintahan di Indonesia maka legislatif tersebut berarti pembuat kebijakan, dalam berbagai literatur banyak penjelasan mengenai pengertian dan konsep legislasi dan perwakilan politik. Salah satu pengertian Badan Legislatif diuraikan oleh Prof. Miriam bahwa, “Badan legislatif adalah lembaga yang ”LEGISLATE” atau membuat Undang-Undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat, maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), nama lain yang sering dipakai adalah parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau umum. Hal ini dilakukan dengan jalan menentukan kebijakan umum (public policy) yang mengikat seluruh masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan kebijakan-kebijakan tersebut. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum.” (Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1986 :1730)
Saya mengartikan dalam lingkup perguruan tinggi maka legislatif itu merupakan badan/organisasi yang membuat kebijakan atau undang-undang dengan dasar kemauan mahasiswa dengan tujuan demi menyejahterakan mahasiswa, apalagi dalam tatanan pemerintah yang berdaulat, maka kebijakan itu berpandang dari segi rakyat (mahasiswa jika di lingkup Perguruan Tinggi).
Dalam teori mengenai legislative, saya mengutip dari media A.Kuswandi, dimana beliau menjelaskan tentang teori mandate. Dalam menjalankan tugasnya, legislatif menggunakan teori mandate yaitu mandat bebas, teori ini berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa tergantung pada perintah (instruksi) dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang wakil merupakan orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum dari masyarakat yang diwakilinya sehingga sang wakil dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya. Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris. Dalam perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori Mandat Representatif.
Sudah jelas bahwa kegiatan legislasi ini yang mewakili rakyat, maka dalam melaksanakan tugasnya badan legislatif haruslah bergerak selaras dengan apa yang diharapkan rakyat, bukan bergerak dan membuat kebijakan dengan persepsi golongan maupun individu.
Badan legislatif dalam merumuskan kebijakannya haruslah mempunyai SOP (Standart Operasional Prosedur) sehingga adanya hubungan mutualisme antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan, disini perlu ditekankan bahwa penerapan komunikasi dua arah nantinya akan dijadikan bahan dalam perumusan dan penetapan kebijakan.
Jika dalam pembentukan organisasi kampus, diibaratkan sebagai susunan lembaga-lembaga yang ada dipemerintahan maka saya sedikit mengadopsinya dari UU No. 10 Tahun 2004 tentang alur dalam perumusan perundang-undangan. Namun saya tekankan sekali lagi, sistem yang ada di lingkup PTN/PTS tidak harus menerapkan sepenuhnya kaidah sistem yang ada di pemerintahan, karena PTN/PTS secara harfiah bukanlah pemerintahan.
Dalam merumuskan perundang-undangan maka terdapat beberapa tahapan yaitu melalui tahap inisiasi, tahap sosio-politis, dan tahap yuridis. Dimana ketiga tahap tersebut minimal dilaksanakan demi tercapainya kesejahteraan mahasiswa. Pertama, Tahap Inisiasi disini dimulai dengan munculnya gagasan atau ide dari masyarakat (mahasiswa). Ide itu berhubungan dengan keinginan agar suatu masalah diatur oleh hukum dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, masyarakat menginginkan adanya peraturan tentang kebebasan berekspresi atau tentang berkegiatan di kampus. Kedua, tahap Sosio-Politis dimana tahap ini merupakan tahap pengelolaan gagasan tentang perlunya pengaturan hukum dari masalah tertentu, harus dimulai dari menampung gagasan dari berbagai sumber. Kemudian, disiapkan materi dari segi hukum. Setelah itu, rancangan tersebut dibicarakan, dikritisi, dan dipertahankan melalui silang pendapat antar unsur golongan, kelompok, organisasi, dan kekuatan politis dalam mahasiswa. Kemudian, bahan-bahan materi perundang-undangan ini dipertajam dan dimatangkan oleh lembaga yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Ketiga, tahap Yuridis dimana tahap ini adalah tahap yang murni muatan yuridisnya, yaitu perumusan dalam bahasa hukum. Tahapan ini dilakukan oleh lembaga yang berwenang, bergantung pada tingkat perundang-undangan tersebut.
Kembali ke paragraf awal yang menegaskan bahwa sidang istimewa ini merupakan kegiatan yang dipimpin oleh MPM untuk merumuskan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh KM-Polije. Perundang-undangan KM-Polije pada acara Sidang istimewa tersebut diusulkan langsung oleh MPM dalam bentuk draf yang siap dikritisi, didiskusikan dan ditetapkan. Muncul banyak spekulasi dan rasa ketidakpercayaan dari rakyatnya tentang usulan-usulan tersebut, selain itu saya menilai terdapat alur yang kurang tepat, sehingga pada rapat koordinasi persipan Sidang Istimewa saya sempat menanyakan landasan atas usulan perundang-undangan yang di usulkan oleh MPM. Apakah sudah sesuai dengan aspirasi KM-Polije atau usulan tersebut dibuat dengan perspektif individu?
Kenapa saya mengatakan ada alur yang kurang tepat? Seperti yang penulis kutip tadi bahwa dalam merumuskan sebuah kebijakan atau undang-undang terdapat tahapan-tahapan yang sudah dijelaskan sebelumnya.
MPM selaku badan legislatif dalam merumuskan usulan perundang-undangan seharusnya terlebih dahulu turun ke KM-Polije dibawahnya untuk mendengar keluhan, keinginan dan harapan. Baru setelah itu pihak legislatif merumuskan masukan-masukan mahasiswa, kemudian mengadakan sidang bersama guna menyatukan suara-suara yang begitu banyak dan ditetapkan menjadi sebuah perundang-undangan. Disini tentu ada hubungan mutualisme yang saling bersinergi.
Oleh Sugiyanto