"Pelanggaran HAM
adalah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
termasuk aparat negara baik disegaja maupun tidak disengaja yang dapat
mengurangi, membatasi, mencabut, atau menghilangkan hak asasi orang lain yang
dilindungi oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
mendapatkan penyelesaian hukum yang benar dan adil sesuai mekanisme hukum yang
berlaku"UU No. 39 tahun 1999
Tanggal 10 Desember
merupakan peringatan Hak Asasi Manusia, dimana HAM adalah hak-hak yang
telah dimiliki seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara
universal, dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan
Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan
tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal
27, 28, 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1 dan pasal 31 ayat 1. Serta beberapa
instrument HAM yang ada di Indonesia antara lain Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan instrumennya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia atau Komnas HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia serta Hukum Internasional tentang HAM yang telah
Diratifikasi Negara Republik Indonesia. Begitu banyak aturan yang mengatur HAM
dengan tujuan agar keadilan di Indonesia merata. Tak seperti yang diharapkan
aturan HAM hanya terpampang begitu saja menjadi hiasan pelengkap etalase rak
buku, banyak kasus di Indonesia yang berhubungan dengan HAM. Namun HAM hanya
dipahami secara teori saja tanpa adanya kerja nyata yang signifikan. HAM di
Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila. Artinya HAM adalah menjadi
jaminan filsafat yang kuat dari filsafat bangsa.
Kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia dibiarkan menguap begitu saja tanpa adanya penyelesaian
akhir. Penyelewengan HAM di Indonesia dipahami secara teoritis sehingga para
penguasa hanya berdiam diri ketika kasus-kasus yang berhubungan dengan HAM tak
ada penyelesaian sampai titik akhir. Mungkin, kita merenung kembali
peristiwa-peristiwa yang terjadi selama ini dan pemerintah hanya mengoceh
seperti burung beo tanpa ada tindak lanjutnya.
Kasus Gerakan 30S-PKI 1965-1966
Pada saat itu, sejumlah
jenderal telah dibunuh secara sadis, tudingan pun mengarah ke Partai Komunis
Indonesia yang telah menjadi biang kerok dari pembunuhan jenderal tersebut.
Akhirnya, selepas kejadian pembunuhan sadis tersebut, maka pemerintah
membubarkan PKI dan melakukan razia terhadap semua anggotanya bahkan sempat
terjadi pembantaian 500.000 sampai 3.000.000 warga yang tewas dibunuh karena
berlabel PKI. Adapun razia itu disebut sebagai operasi pembersihan PKI. Anggota
PKI yang lainnya, terdapat ribuan yang diasingkan dan jutaan orang lagi mesti
hidup pada bayang-bayang “Simbol PKI” untuk bertahun-tahun.
KOMNAS HAM melakukan
penudingan kepada komando operasi pemulihan keamanan dan semua panglima militer
yang sedang menjabat pada saat itu sebagai dalang yang mesti bertanggung jawab
atas operasi pembersihan tersebut.Namun, sampai saat ini kasus pelanggaran HAM
ini ditangani oleh Kejaksaan Agung. Akan tetapi pada tahun 2013 lalu, Kejaksaan
kemudian mengembalikan berkas kasus pelanggaran HAM tersebut ke KOMNAS HAM
dengan alasan bahwa data kurang lengkap. Akhirnya, untuk mencari pelaku
pelanggaran HAM pada operasi pembersihan PKI terhenti sampai disitu.
Kasus Penembakan Misterius (read: Petrus) Pada Tahun 1982 -1985
Terjadi penembakan
misterius alias operasi clurit, operasi yang dilakukan oleh mantan Presiden
Soeharto dengan alasan untuk mengatasi kejahatan yang tinggi di masyarakat.
Operasi ini bertugas untuk menangkap dan membunuh orang-orang yang dianggap
akan mengganggu keamanan dan ketentraman dimasyarakat, terkhusus di Jakarta dan
Jawa Tengah. Pelaku operasi clurit ini tidak jelas, bahkan sampai saat ini tak
pernah ditangkap dan tidak diadili. Adapun temuan dari operasi clurit ini
ternyata telah menewaskan sebanyak 532 orang di tahun 1983. Dari jumlah
tersebut, 367 orang tersebut meregang nyawa karena luka tembakan. Selanjutnya,
pada tahun 1984 telah tercatat sekitar 107 orang yang tewas dan diantaranya 15
orang tewas tertembak. Satu tahun kemudian, ditahun 1985, ditemukan sebanyak 28
orang tewas diantaranya mati tertembak.Tragisnya korban penembak misterius
tersebut selalu ditemukan dengan kondisi leher dan tangan terikat. Bahkan
sebagian besar korban dimasukkan dalam karung dan ditinggalkan dipinggir jalan,
depan rumah, laut, hutan, kebun dan dibuang di sungai. Alasan yang dibuat oleh
Soeharto sangat cantik. Namun, tindakannya kurang tepat karena hak untuk hidup
orang tersebut telah dicabut dalam operasi tersebut sehingga termasuk kasus
pelanggaran HAM berat.
Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus penembakan kepada
para mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota Polisi dan
Militer. Bermula ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti sedang
melakukan demonstrasi setelah Indonesia mengalami krisis finansial Asia pada
tahun 1997 menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Peristiwa ini
dikenal dengan tragedi Trisakti. Dikabarkan puluhan mahasiswa mengalami
luka-luka dan sebagian meninggal dunia yang disebabkan karena ditembak dengan
menggunakan peluru tajam oleh anggota Polisi dan Militer.
Tragedi Semanggi dan kerusuhan 1998
Pada tanggal 13-15 Mei 1998
telah terjadi kerusuhan yang masif dan terjadi hampir disetiap sudut tanah air.
Kemudian, aksinya memuncak di Ibu Kota Jakarta. Kerusuhan tersebut diawali oleh
hadirnya kondisi kritis finansial Asia yang kian memburuk, dan dipicu oleh
tewasnya empat Mahasiwa Trisakti yang telah tertembak pada demonstrasi di
tanggal 12 Mei 1998. Pada proses hukumnya, kejaksaan agung menyatakan bahwa
kasus ini dapat ditindaklanjuti jika sudah ada rekomendasi dari DPR ke
Presiden. Hanya saja sampai saat ini belum ada rekomendasi tersebut, sehingga
Kejaksaan Agung kemudian mengembalikan berkas penyelidikan kepada KOMNAS HAM.
Akan tetapi belakangan, ternyata kejaksaan agung telah mengambil alasan bahwa
kasus pelanggaran HAM semanggi ini tidak dapat dilanjutkan karena DPR telah
memutuskan bahwa tak ditemukan adanya pelanggaran HAM berat pada tragedi
Semanggi. Alasan lainnya, Kejaksaan Agung telah menganggap bahwa kasus
penembakan Trisakti sudah diputuskan oleh pengadilan Militer pada tahun 1999,
sehingga tak dapat diadili untuk yang kedua kalinya.
Terbunuhnya aktivis HAM “MUNIR SAID THALIB”
Munir akhirnya ditemukan
tewas dalam pesawat jurusan Jakarta – Amsterdam pada tanggal 7 september 2004.
Pada saat itu dia telah berumur 38 tahun. Munir sebagai salah satu aktivis HAM
yang paling kritis di Indonesia. Jabatan yang diemban pada saat itu ialah
Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Ketika menjabat Dewa Kontras atau Komite untuk orang hilang dan korban tindak
kekerasan, namanya kemudian melambung sebagai pejuang orang-orang yang hilang
karena diculik. Pada saat itu, dia sedang membela para aktivis yang telah
menjadi korban penculikan tim mawar dari Komando Pasukan Khusus TNI sesudah
Soeharto jatuh. Penculikan tersebut menjadi alasan dicopotnya DANJEN KOPASSUS
Prabowo Subianto dan akhirnya para anggota tim mawar diadili. Hanya saja,
dibalik kasus tersebut sampai hari ini, ternyata yang menjadi tersangka dan
pernah diadili yaitu Pilot Maskapai Garuda yang bernama Pollycarpus Budihari
Priyanto dianggap sebagai orang yang telah meracuni Munir saat terbang menuju
Amsterdam. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa Polly bukanlah otak
pembunuhan munir tersebut. Akan tetapi kasus pelanggaran HAM ini mengalami kebuntuan
karena kurangnya bukti sehingga Polly dibebaskan bersyarat pada tahun 2011.
Tragedi Wamena Berdarah 4 April 2003.
Tragedi tersebut terjadi
pada tanggal 4 April 2003 pukul 01.00 waktu Papua. Terdapat sekelompok masa
yang tidak dikenal kemudian membobol gudang senjata markas Kodim 1702/ Wamena.
Penyerangan tersebut kemudian menewaskan 2 anggota Kodim yaitu Prajurit Ruben
Kana (penjaga gudang senjata) dan Lettu TNI AD Napitupulu. Kelompok masa
penyerang tersebut telah diduga melarikan senjata sejumlah amunisi dan pucuk
senjata. Akhirnya, dilakukanlah pengejaran terhadap pelaku, penyisiran,
penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa hingga menimbulkan korban
jiwa, bahkan penduduk diungsikan secara paksa pada saat itu.
Proses pemindahan paksa
tersebut, telah tercatat 42 orang yang telah meninggal dunia disebabkan
kelaparan, dan 15 orang menjadi korban perampasan. Kemudain KOMNAS HAM
menemukan adanya tindakan pemaksaan dalam penandatanganan surat pernyataan dan
pengrusakan beberapa fasilitas umum.
Proses tersebut sampai saat
ini berlanjut hingga mendapatkan kebuntuan karena adanya tarik ulur dari
Kejaksaan Agung dan KOMNAS HAM. Sementara itu, para tersangka tetap terus
menikmati hidupnya, mendapatkan kehormatan sebagai seorang pahlawan.
Kasus Tanjung Priok 1984
Peristiwa kerusuhan yang
terjadi pada tanggal 12 September 1984di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia,
yang mengakibatkan sebanyak 24 orang tewas, 36 orang luka berat dan 19 luka
ringan. Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah
orde baru waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan azas tunggal
yaitu Pancasila. Penyebab peristiwa ini adalah tindakan perampasan brosur yang
mengkritik pemerintah pada saat itu di salah satu masjid di kawasan Tanjung
Priok dan penyerangan oleh masa terhadap Aparat.
Terbunuhnya Marsinah, Pekerja Wanita PT Catur Putera Surya Porong.
Marsinah merupakan salah
satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya (CPS) yang terletak di Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah muncul ketika Marsinah bersama dengan teman-teman
sesama buruh dari PT. CPS menggelar unjuk rasa, mereka menuntut untuk menaikkan
upah buruh pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dia aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Masalah memuncak ketika Marsinah menghilang dan tidak diketahui oleh
rekannya, dan sampai akhirnya pada tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan
meninggal dunia. Mayatnya ditemukan di sebuah hutan di dusun Jegong, Kecamatan
Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan. Menurut
hasil otopsi, diketahui bahwa Marsinah meninggal karena penganiayaan berat.
Terbunuhnya Wartawan UDIN dari harian umum bernas (1996)
Seorang wartawan (Fuad
Muhammad Syafrudin) dari harian Bernas yang diduga telah diculik dan dianiaya
hingga tewas oleh orang yang tidak dikenali.
Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang telah
terjadi pada tahun 1990 sudah banyak menelan korban, baik dari pihak penduduk
sipil maupun Aparat. Peristiwa tersebut dipicu oleh adanya unsur politik dimana
ada pihak-pihak tertentu menginginkan Aceh untuk merdeka.
Peristiwa Penculikan Para Aktivis Politik (1998)
Peristiwa penculikan yang
terjadi pada tahun 1998 terhadap para aktivis politik yang dalam catatan
Kontras, bahwa tercatat 23 orang yang telah diculik dimana 1 orang yang
meninggal, 13 orang masih hilang dan 9 orang yang dilepaskan.
Banyak lagi kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Ambon tahun 1999, kasus Poso pada
tahun 1998 – 2000, kasus Dayak dan Madura pada tahun 2000, kasus TKI di
Malaysia dan kasus yang baru terjadi yaitu kasus Salim Kancil yang membela Hak
masyarakat menolak pertambangan pasir.
Begitu banyak masalah yang
berhubungan dengan HAM, namun masih banyak kasus yang dilempar-lempar kesana
kemari oleh penguasa dengan alasan tertentu. Masyarakat banyak yang menjadi
korban ketika menegakkan keadilan. Indonesia merupakan Negara yang menjunjung
tinggi toleransi. Namun, kenyataanya tidak sesuai dengan undang-undang yang
sudah dibuat oleh para Wakil Rakyat disana. Seharusnya penegakan keadilan dan
HAM dapat dinomer satukan melihat begitu pentingnya HAM serta tidak membiarkan
peristiwa demi peristiwa tanpa ada penyelesaian. Uang memang kebutuhan dan raja
buat kita, namun keamanan dan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia adalah
pondasi untuk membangun kebersamaan dalam kebhinekaan. Semoga para pemimpin
kita berlaku adil dan memahami makna Pancasila yang sesungguhnya untuk
menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM, tanpa melihat dia orang penting,
golongan atas, berdasi ataupun rakyat biasa.
Sugiyanto
Sumber: