20.47



Tepat tanggal 10 Desember, masyarakat seluruh dunia memperingati hari HAM, namun peringatan itu hanya sekedar peringatan saja karena kebebasan berpendapat dibungkam. Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak sipil yang diperoleh dari pemerintah. Kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan kebebasan yang paling penting. Pentingnya kebebasan berpendapat ini dikemukakan oleh John Stuart Mill (1806 – 1873), bahwa kebebasan berbicara merupakan bidang kebebasan manusia yang tepat. Bidang ini, pertama-tama terdiri dari bidang kesadaran batin yang menuntut adanya kebebasan kata hati dalam artian yang paling sempurna, kebebasan pemikiran dan perasaan, kebebasan mengungkapkan pendapat dan perasaan terhadap semua hal, yang bersifat praktis atau spekulatif, keilmuan, moral, atau teologi.
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu karunia Tuhan yang sangat berharga. Setiap orang mempunyai kepentingan untuk dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Sebab adanya batasan atau tekanan akan mengakibatkan orang merasa khawatir atau takut untuk menyampaikan pendapatnya, dan hal ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Kehadiran hak asasi manusia sebenarnya tidak diberikan oleh Negara, melainkan asasi manusia menurut hipotesis John Locke merupakan hak-hak individu yang sifatnya kodrati, dimiliki oleh setiap insan sejak ia dilahirkan. Salah satunya adalah hak berbicara dan mengeluarkan pendapat yang dimiliki oleh setiap masyarakat tanpa memandang suku, ras, dan agama. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Misalnya saja tulisan, buku, diskusi, artikel dan berbagai media lainnya. Semakin dewasa suatu bangsa maka kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat semakin dihormati.(El Muhtaj Majda: 2007).
Tahun 2010 pemerintah telah beritekad baik untuk mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga Negara sesuai dengan bunyi Undang-Undang Dasar yaitu mencerdaskan bangsa. Salah satunya melalui program Bidikmisi , agar mahasiswa bisa mengakses pendidikan yang lebih tinggi di kampus-kampus negeri. Sebagai mahasiswa, para mahasiswa penerima beasiswa ini pun berhak memiliki akses yang sama dengan para mahasiswa lainnya. Artinya, walau secara sistem pembayaran biaya kuliah para mahasiswa berbeda, namun dalam hal memperoleh hak berpendidikan tetap sama. Hak berpendidikan itu bisa diwujudkan melalui kegiatan akademik (perkuliahan) dan non-akademik.
Keikut sertaan mahasiswa ini tidak ada pihak manapun yang punya kuasa untuk melarang atau memaksa hak-hak berkegiatan mahasiswa, sekalipun itu dari birokrat kampus. Apalagi sebagai warga negara ini, kebebasan para mahasiswa untuk berorganisasi dan beraspirasi sudah dijamin dengan Pasal 28 UUD 1945. Maka, aktif mengikuti kegiatan organisasi intra kampus sekaligus menjadikan organisasi sebagai wadah penyalur pendapat kepada birokrat kampus merupakan hal yang sah secara hukum.
Tidak ada larangan secara hukum bahwa para mahasiswa Bidikmisi dibatasi mengikuti kegiatan intra kampus hanya karena mereka mendapat beasiswa. Apalagi jika nalar kritis mereka dikekang untuk sekedar mengkritik jika ada ketidakbecusan kerja dari birokrasi kampusnya.
Apabila kampus-kampus negeri masih menerapkan cara demikian, berarti ada paradigma yang salah kaprah dari para birokrat kampus memandang mahasiswa Bidikmisi. Birokrat kampus yang masih melabeli mahasiswa Bidikmisi sebagai mahasiswa yang seharusnya menjadi “penurut” karena mereka tak mampu membiayai kuliah, bisa dikatakan bahwa birokrat seperti ini tipikal birokrat tak patuh hukum. Karena sekali lagi, kebebasan berkegiatan setiap mahasiswa dijamin oleh undang-undang, hal itu tentu kontraproduktif dengan nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 maupun UU. Padahal sejatinya, lingkungan kampus diharapkan mampu mengemban peran tidak semata peran akademis dan kreativitas mahasiswa melalui Tridharma Perguruan Tinggi. Namun melalui ruang-ruang kampus diharapkan juga terbentuk sikap kritis dan idealis mahasiswa terhadap berbagai kebijakan, baik internal kampus maupun kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan aturan. Menjadi tidak logis karena UUD 1945 dan UU saja mengatur dan menjamin hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan atau tulisan, termasuk dengan unjuk rasa atau demonstrasi. Saya menilai kurang bijak kiranya jika anak bidik misi dibungkam, Kita tidak dapat membayangkan bagaimana “sepi” nya kampus dari dinamika dan ruang-ruang untuk berdemokrasi. Betapa “sunyi” nya kampus karena sikap kritis yang “dibisukan” oleh kebijakan tersebut.
Ketika aparatur/pimpinan kampus, memahami kritik (berupa lisan/tulisan) sebagai duri di tengah kondusivitas kampus, maka kampus tersebut sudah kontra ilmiah. Kampus adalah ruang bersama yang mengakomodasi ekspresi kebebasan berpendapat. Mengutip Nugroho Notosusanto, sejak masih menuntut ilmu, mahasiswa Indonesia sudah dituntut memberikan sumbangan pengetahuan dan pertimbangan atas kondisi bangsa. Kampus menyediakan ruang-ruang berpendapat, menyampaikan gagasan, termasuk melontarkan kritik dan autokritik. Kebebasan itu menjadi semangat awal untuk menghargai dan menghormati setiap perbedaan pendapat. Dari dalam kampus, semangat itu dilatih dan dikembangkan.
Apalagi nalar kritis penerima beasiswa Bidik misi dikekang untuk sekedar mengkritik jika ada ketidakbecusan kerja dari birokrasi kampusnya. Maka akan muncul beberapa ancaman yaitu:
Pertama, ancaman itu bertolak belakang dengan hak kebebasan berpendapat setiap warga negara yang dilindungi hukum. Dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 disebutkan, setiap elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, berhak melakukan demonstrasi. Selama demonstrasi yang dilakukan tak melanggar hukum, tentu tak ada hak untuk melarang. Larangan dan ancaman hanya akan menjauhkan kritik yang dibawa dalam setiap demonstrasi dari substansi permasalahan. Padahal, sering kritik berdampak positif untuk memperbaiki kebijakan yang dianggap menyimpang.
Kedua, ancaman pencabutan beasiswa dan larangan berkegiatan serta pengurangan nilai itu bisa menjadi indeks buruk bagi kehidupan mahasiswa. Berorganisasi adalah sarana bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dari kelas. Organisasi menjadi wahana berlatih mengaktualisasikan diri, termasuk kebebasan mengemukakan ide. Ketika ruang itu dibatasi, bahkan ditutup, tentu yang muncul adalah mahasiswa-mahasiswa egoistis dan individualis. Mahasiswa menjadi tak menghargai perbedaan pendapat, bahkan takut berpendapat karena ancaman selalu menghantui.
Padahal, seperti diungkapkan Ki Hadjar Dewantara, tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia (termasuk mahasiswa) sebagai anggota masyarakat. Dalam pendidikan yang ditegaskan Ki Hadjar, kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking). Wajar jika pesimisme mengapung. Dalam kondisi ketika kebebasan berpendapat dibungkam, peran pendidikan sebagai proses pencerdasan kehidupan bangsa dengan nation and chacracter building sangat mungkin terabaikan.
Itu harus menjadi bahan refleksi bersama. Sivitas akademika harus mengembalikan kampus dan membuka ruang lebar bagi kebebasan berpendapat. Pemimpin kampus tak perlu mengancam mahasiswa yang kritis. Sungguh sangat ironis jika masih terdengar kabar bahwa mahasiswa Bidikmisi dikekang akses berkegiatan dan berpendapatnya. Alasan bahwa mereka dibantu pihak kampus untuk memperoleh biaya pendidikan, bukanlah sebab masuk akal untuk mengekang ruang gerak mereka. Kampus negeri hanyalah lembaga kepanjangan tangan pemerintah untuk membantu warga kurang mampu demi mengakses pendidikan.
Sama seperti mahasiswa lainnya, para mahasiswa Bidikmisi juga memiliki potensi untuk membangun kehidupan intelektual kampus, secara kritis sekalipun. Pembungkaman pihak birokrat kampus terhadap mahasiswa Bidikmisi merupakan bentuk arogansi birokrat yang seolah-olah merasa sebagai “dewa penolong” bagi mereka. Tapi bentuk pertolongan dengan kekang di baliknya sama saja wujud penjajahan terhadap hak berpendidikan warga negara.