Tepat tanggal 10 Desember,
masyarakat seluruh dunia memperingati hari HAM, namun peringatan itu hanya
sekedar peringatan saja karena kebebasan berpendapat dibungkam. Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak sipil yang
diperoleh dari pemerintah. Kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan kebebasan
yang paling penting. Pentingnya kebebasan berpendapat ini dikemukakan oleh John
Stuart Mill (1806 – 1873), bahwa kebebasan berbicara merupakan bidang kebebasan
manusia yang tepat. Bidang ini, pertama-tama terdiri dari bidang kesadaran
batin yang menuntut adanya kebebasan kata hati dalam artian yang paling
sempurna, kebebasan pemikiran dan perasaan, kebebasan mengungkapkan pendapat
dan perasaan terhadap semua hal, yang bersifat praktis atau spekulatif,
keilmuan, moral, atau teologi.
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu
karunia Tuhan yang sangat berharga. Setiap orang mempunyai kepentingan untuk
dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak
manapun. Sebab adanya batasan atau tekanan akan mengakibatkan orang merasa
khawatir atau takut untuk menyampaikan pendapatnya, dan hal ini merupakan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Kehadiran hak asasi manusia sebenarnya tidak diberikan
oleh Negara, melainkan asasi manusia menurut hipotesis John Locke merupakan
hak-hak individu yang sifatnya kodrati, dimiliki oleh setiap insan sejak ia
dilahirkan. Salah satunya adalah hak berbicara dan mengeluarkan pendapat yang
dimiliki oleh setiap masyarakat tanpa memandang suku, ras, dan agama. Kebebasan
berbicara dan mengeluarkan pendapat dapat dilakukan dalam berbagai bentuk.
Misalnya saja tulisan, buku, diskusi, artikel dan berbagai media lainnya.
Semakin dewasa suatu bangsa maka kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
semakin dihormati.(El Muhtaj Majda: 2007).
Tahun 2010 pemerintah telah beritekad baik untuk
mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga Negara sesuai dengan bunyi Undang-Undang Dasar yaitu mencerdaskan bangsa. Salah satunya melalui program
Bidikmisi , agar mahasiswa bisa mengakses pendidikan yang lebih tinggi di
kampus-kampus negeri. Sebagai mahasiswa, para mahasiswa penerima beasiswa ini
pun berhak memiliki akses yang sama dengan para mahasiswa lainnya. Artinya,
walau secara sistem pembayaran biaya kuliah para mahasiswa berbeda, namun dalam
hal memperoleh hak berpendidikan tetap sama. Hak berpendidikan itu bisa
diwujudkan melalui kegiatan akademik (perkuliahan) dan non-akademik.
Keikut sertaan mahasiswa ini tidak ada pihak manapun
yang punya kuasa untuk melarang atau memaksa hak-hak berkegiatan mahasiswa,
sekalipun itu dari birokrat kampus. Apalagi sebagai warga negara ini, kebebasan
para mahasiswa untuk berorganisasi dan beraspirasi sudah dijamin dengan Pasal
28 UUD 1945. Maka, aktif mengikuti kegiatan organisasi intra kampus sekaligus
menjadikan organisasi sebagai wadah penyalur pendapat kepada birokrat kampus
merupakan hal yang sah secara hukum.
Tidak ada larangan secara hukum bahwa para mahasiswa
Bidikmisi dibatasi mengikuti kegiatan intra kampus hanya karena mereka mendapat
beasiswa. Apalagi jika nalar kritis mereka dikekang untuk sekedar mengkritik
jika ada ketidakbecusan kerja dari birokrasi kampusnya.
Apabila kampus-kampus negeri masih
menerapkan cara demikian, berarti ada paradigma yang salah kaprah dari para
birokrat kampus memandang mahasiswa Bidikmisi. Birokrat kampus yang masih
melabeli mahasiswa Bidikmisi sebagai mahasiswa yang seharusnya menjadi
“penurut” karena mereka tak mampu membiayai kuliah, bisa dikatakan bahwa
birokrat seperti ini tipikal birokrat tak patuh hukum. Karena sekali lagi,
kebebasan berkegiatan setiap mahasiswa dijamin oleh undang-undang, hal itu tentu
kontraproduktif dengan nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang diatur dalam UUD
1945 maupun UU. Padahal sejatinya, lingkungan kampus diharapkan mampu mengemban
peran tidak semata peran akademis dan kreativitas mahasiswa melalui Tridharma
Perguruan Tinggi. Namun melalui ruang-ruang kampus diharapkan juga terbentuk
sikap kritis dan idealis mahasiswa terhadap berbagai kebijakan, baik internal
kampus maupun kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan aturan.
Menjadi tidak logis karena UUD 1945 dan UU saja mengatur dan menjamin hak untuk
mengeluarkan pendapat secara lisan atau tulisan, termasuk dengan unjuk rasa
atau demonstrasi. Saya menilai kurang bijak kiranya jika anak bidik misi
dibungkam, Kita tidak dapat membayangkan bagaimana “sepi” nya kampus dari
dinamika dan ruang-ruang untuk berdemokrasi. Betapa “sunyi” nya kampus karena
sikap kritis yang “dibisukan” oleh kebijakan tersebut.
Ketika aparatur/pimpinan kampus, memahami kritik
(berupa lisan/tulisan) sebagai duri di tengah kondusivitas kampus, maka kampus
tersebut sudah kontra ilmiah. Kampus adalah ruang bersama yang mengakomodasi
ekspresi kebebasan berpendapat. Mengutip Nugroho Notosusanto, sejak masih
menuntut ilmu, mahasiswa Indonesia sudah dituntut memberikan sumbangan
pengetahuan dan pertimbangan atas kondisi bangsa. Kampus menyediakan
ruang-ruang berpendapat, menyampaikan gagasan, termasuk melontarkan kritik dan
autokritik. Kebebasan itu menjadi semangat awal untuk menghargai dan
menghormati setiap perbedaan pendapat. Dari dalam kampus, semangat itu dilatih
dan dikembangkan.
Apalagi nalar kritis penerima beasiswa Bidik misi
dikekang untuk sekedar mengkritik jika ada ketidakbecusan kerja dari birokrasi
kampusnya. Maka akan muncul beberapa ancaman yaitu:
Pertama,
ancaman itu bertolak belakang dengan hak kebebasan berpendapat setiap warga
negara yang dilindungi hukum. Dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 disebutkan, setiap
elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, berhak melakukan demonstrasi. Selama
demonstrasi yang dilakukan tak melanggar hukum, tentu tak ada hak untuk
melarang. Larangan dan ancaman hanya akan menjauhkan kritik yang dibawa dalam
setiap demonstrasi dari substansi permasalahan. Padahal, sering kritik
berdampak positif untuk memperbaiki kebijakan yang dianggap menyimpang.
Kedua, ancaman pencabutan beasiswa dan larangan
berkegiatan serta pengurangan nilai itu bisa menjadi indeks buruk bagi kehidupan mahasiswa.
Berorganisasi adalah sarana bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu yang
didapat dari kelas. Organisasi menjadi wahana berlatih mengaktualisasikan diri,
termasuk kebebasan mengemukakan ide. Ketika ruang itu dibatasi, bahkan ditutup,
tentu yang muncul adalah mahasiswa-mahasiswa egoistis dan individualis.
Mahasiswa menjadi tak menghargai perbedaan pendapat, bahkan takut berpendapat
karena ancaman selalu menghantui.
Padahal, seperti diungkapkan Ki Hadjar
Dewantara, tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia (termasuk mahasiswa)
sebagai anggota masyarakat. Dalam pendidikan yang ditegaskan Ki Hadjar,
kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak
tergantung orang lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri
(vrijheid, zelfbeschikking). Wajar jika pesimisme mengapung. Dalam kondisi
ketika kebebasan berpendapat dibungkam, peran pendidikan sebagai proses
pencerdasan kehidupan bangsa dengan nation and chacracter building sangat
mungkin terabaikan.
Itu harus menjadi bahan refleksi bersama. Sivitas
akademika harus mengembalikan kampus dan membuka ruang lebar bagi kebebasan
berpendapat. Pemimpin kampus tak perlu mengancam mahasiswa yang kritis. Sungguh
sangat ironis jika masih terdengar kabar bahwa mahasiswa Bidikmisi dikekang
akses berkegiatan dan berpendapatnya. Alasan bahwa mereka dibantu pihak kampus
untuk memperoleh biaya pendidikan, bukanlah sebab masuk akal untuk mengekang
ruang gerak mereka. Kampus negeri hanyalah lembaga kepanjangan tangan
pemerintah untuk membantu warga kurang mampu demi mengakses pendidikan.
Sama
seperti mahasiswa lainnya, para mahasiswa Bidikmisi juga memiliki potensi untuk
membangun kehidupan intelektual kampus, secara kritis sekalipun. Pembungkaman
pihak birokrat kampus terhadap mahasiswa Bidikmisi merupakan bentuk arogansi
birokrat yang seolah-olah merasa sebagai “dewa penolong” bagi mereka. Tapi
bentuk pertolongan dengan kekang di baliknya sama saja wujud penjajahan
terhadap hak berpendidikan warga negara.