Ilustrasi Wisuda. Doc. Istimewa |
“Jika
pun mahasiswa politeknik berkumpul dan berdiskusi, hasilnya paling sering
adalah seminar kewirausahaan. Maka pengetahuan mahasiswa politeknik tak
jauh-jauh dari kemampuan marketing, keahlian merakit mobil listrik, serta
kiat-kiat menjadi sekretaris korporat yang kebijakannya sering dikritisi
mahasiswa universitas itu.”
Sontak
saya kaget membaca tulisan mahasiswa asal semarang ini. Ruhaeni Intan,
mahasiswa Politeknik Negeri Semarang ini seperti berpikiran hal yang mungkin
dipandang nyeleweng jika dipandang sepintas. Tulisan yang berjudul Universitas
Ahmad Dahlan sebaiknya berubah menjadi Politeknik Ahmad Dahlan jika tidak ingin
dikritik yang ia kirim pada redaksi Persma.org ini menanggapi sikap dari
Wakil Rektor III Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Abdul Fadlil, yang membekukan
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros karena selalu memberitakan
kebijakan-kebijakan kampus UAD.
Tapi
bukan masalah pembekuan LPM Poros yang akan saya singgung dalam tulisan ini. Yang
lebih menarik bagi saya yaitu, kata-kata Intan yang secara tidak langsung
menyebutkan bahwa mahasiswa politeknik disiapkan untuk bekerja di perusahaan
korporasi. Apakah mahasiswa politeknik memang disiapkan menjadi pekerja atau
buruh kontrak setelah ia lulus, atau akan berwirausaha dengan bekal ilmu yang
didapatkan selama kuliah?
**
Beberapa
bulan kebelakang kegiatan perkuliahan membuat pikiran saya cepat suntuk. Dalam
semester VI ini saya menerima mata kuliah Penulisan Ilmiah dan Metode
Penelitian. Setiap pertemuan mahasiswa dibimbing agar dapat menentukan topik
permasalahan, latar belakang dari masalah untuk rencana penelitian kedepan, yang
outputnya menjadi bekal dalam penyusunan skripsi.
Mata
kuliah ini biasa diterima akademik khususnya mahasiswa semester IV untuk D3 dan
semester VI untuk D4. Memang waktu yang tepat agar mahasiswa selama semster IV
atau VI dapat menentukan bidang yang ia minat untuk di rumuskan menjadi judul
skripsinya. Rencananya, pada semester V atau VII dapat melaksanakan seminar dan
pelaksanaan penelitian, Semester VI atau VIII pelaksanaan PKL, revisi dan
sidang. Tempat PKL biasanya bertempat pada perusahaan, instistusi yang sesuai
dengan program studinya.
Misalnya,
pada mahasiswa Jurusan Peternakan. Ia diwajibkan melaksanakan PKL di perusahaan
besar contohnya Charoend Phokpand selama beberapa bulan. Mahasiswa akan belajar
bekerja di sana sekaligus
mengimplementasikan materi yang pernah dipelajari di kampus. Jadwal yang sudah di tentukan tersebut
seperti memaksa mahasiswa harus berfokus pada studinya agar ia dapat sesuai target
untuk lulus tepat waktu, 3 tahun
untuk D3 dan 4 tahun untuk D4.
Namun
sampai akhir semester VI teman-teman seprodi saya belum mendapat Dosen Pembimbing
Utama (DPU) dan Dosen Pembimbing Anggota (DPA). Kondisi ini membuat beberapa
teman saya merasa gelisah karena tidak dapat segera melakukan bimbingan kepada
DPU dan DPA mereka.
Tidak
hanya itu saja, beberapa waktu sebelumnya teman-teman saya sudah merasa
mengeluh, karena mendapat tugas mencari topik dan beberapa jurnal yang dapat
menguatkan topiknya. “Duh, angel golek jurnale” (duh, sulit mencari
jurnalnya) beberapa keluhan yang sering saya dengar. Beberapa teman sudah
mendapat topik dan juga mendapat persetujuan dari dosen koordinator skripsi
yang bertugas memberikan DPU dan DPA untuk mahasiswanya.
Jika
dalam rencana terdekat mereka merasa pengumuman DPU-DPA harus segera di
umumkan, menurut saya mereka juga harus memikirkan rencana jangka panjang setelah
selesai menyelesaikan skripsi. Bekerja? Menikah? Bukan itu saja.
***
Beberapa
teman angkatan yang menjadi mahasiswa D3 sudah dari 2 semester lalu menggarap
Tugas Akhir (TA), saya mendapat cerita jika banyak teman yang mengeluh dalam
penggarapan TA dan laporan PKL. Mereka sampai mengorbankan waktu istirahat,
begadang sampai larut malam karena harus menjaga sampel yang ia uji
dilaboratorium, waktu refresing berkurang, sampai efeknya kesehatan
tubuh mereka menjadi menurun, lalu sakit.
Tahap
akhirnya setelah ujian PKL dan Ujian Skripsi atau TA, waktu yang
dibangga-banggakan sebagai seorang mahasiswa datang. Ya, wisuda. Semua jerih
payah seperti terbalas dengan wisuda. Ritual memindahkan tali topi toga dari
kanan ke kiri. Eh, dari kiri ke kanan saya kurang paham karena saya
belum merasakan diwisuda. Sungguh bahagia dan mengharukan.
Tapi
apa sampai disana saja kisah kasih dari penggarapan TA dan skripsi? Setelah
mereka menyelesaikan administrasi di kampus,
kemana hasil jerih payah mereka? Apa sekedar menjadi koleksi di perpustakaan lalu setelah rak sudah penuh kemudian dikilokan
dan hanya membutuhkan selembar transkrip nilai untuk melamar pekerjaan.
Cara
seperti itu yang ditekankan oleh birokrasi kampus Polije pada mahasiswa dengan menggunakan
sistem pendidikannya. Seperti apa yang dikatakan oleh Martin Heidegger sebagai
“manusia keseharian”. Heidegger menjelaskan dalam kesehariannya bahwa dalam
menyibukkan diri pada setiap aktivitas tidak membawa orang itu keluar dari
kecemasannya terhadap kematian tetapi akan mempercepat proses datangnya
kematian. Apabila manusia itu sibuk dengan aktivitasnya sesaat bisa melupakan
kematian, tetapi bila tanpa sadar ia merenungkan kehidupan ini saat itulah akan
teringat dengan kematian yang menghampirinya.
Seperti
yang terjadi pada mahasiswa saat ini, mereka terlalu sibuk dalam aktivitasnya
sampai mereka lupa akan esensi dari tugas yang ia kerjakan untuk apa. Mahasiswa
hanya bertujuan untuk segera menyelesaikan
kewajibannya dan cepat lulus dengan tepat waktu. Logika mereka sudah dibutakan
dengan imajinasi kebahagiaan dan kenyamanan yang ingin dicapai saat wisuda.
Bahkan imajinasi sesaat menurut saya.
Menurut
saya dengan logika kasar saja, kebahagiaan atau kenyamanan akan mengaburkan
daya fokus dalam berpikir. Seperti kata-kata albert einstein bahwa “Gravitasi tidak berpengaruh kepada
mereka yang sedang jatuh cinta”. Bukan berarti kaki dari sepasang kekasih tersebut tidak menempel pada bumi, tetapi mereka tidak akan
memperdulikan pikiran atau penilaian orang di sekitarnya tentang mereka. Yang terpenting adalah kebahagian
bersama di antara kedua individu
itu.
Mahasiswa
sudah terlalu dibuai dengan imajinasi kebahagiaan sesaat selama ritual wisuda,
ia hanya mencari kenyamanan untuk dirinya semata. Ibaratnya lelaki yang sedang
ereksi, memainkan alat kelamin lalu beberapa saat kemudian nccroot!!.
Kebahagiaan sesaat pun didapatnya tanpa ada pemikiran untuk apa ia melakukannya
dan apa output yang dihasilkan.
Jika
masih ngambang dengan analogi diatas, sederhananya seperti ini.
Mahasiswa dengan susah payah mengerjakan skripsi atau TA hanya menginginkan agar cepat lulus dan segera bekerja, tanpa menelaah
untuk apa ia beberapa bulan lalu bersusah-susah mengerjakan kewajibannya jika
ujung-ujungnya hanya mengharapkan selembar kertas traskrip nilai. Ia tidak
memikirnya hasil kerjanya pasca wisuda, apakah skripsi atau TA digunakan di
tempat kerjanya atau ingin berfokus pada kegiatan lain yang masih berhubungan
dengan Skripsi atau TA. Saya juga yakin, saat melamar pekerjaan judul
penelitiannya tidak akan ditanya oleh perusahaan yang ia sodorkan proposal
lamaran kerja.
***
Apakah
Pendidikan Tinggi setingkat Politeknik Negeri Jember ini hanya menjadi batu
loncatan sebelum bekerja? Apakah pendidikan dalam pandangan mahasiswa zaman
sekarang dipandang sebagai tempat formal mencari gelar akademik? Atau paradigma
para birokrat kampus sudah terdoktrin oleh sistem industrialisasi pendidikan
yang mencetak mahasiswanya untuk segera lulus dan menjadi pekerja perakit mobil
listrik, marketing dan sekretaris korporat seperti yang di katakan Intan?
Jika
memang demikian, maka hal itu sudah berbeda presepsi dengan apa yang dianggap
oleh Paulo Freire, pendidikan
untuk pembebasan kaum tertindas. Pendidikan yang menurut Freire harus
berintikan pembebasan kesadaran atau dialogika (memancing agar berdialog), membiarkan
peserta didik mengucapkan sendiri perkataannya.
Kata
penindasan di sini secara ekstrim
menyebutkan secara fungsional yaitu penjinakan. Peserta didik digiring ke arah ketaatan bisu, dipaksa diam dan diharuskan memahami realitas
diri dan dunianya sebagai kaum tertindas.
Bagaimana
tidak, saat mahasiswa datang ke kampus untuk mengikuti kuliah dosen hanya
membaca slide yang ada, atau memberi ceramah satu arah tanpa ada dialog
dengan mahasiswa untuk menanggapi atau menambahi materi. Atau di saat praktikum dosen hanya mengecek
tugas yang ia berikan minggu lalu, kemudian memerintah mengerjakan tugas
berikutnya pada Buku Kerja Praktek Mahasiswa (BKPM)dan buru-buru
meninggalkan kelas karena harus mengerjakan proyek lainnya.
Konsep
pendidikan yang seperti itu Freire menyebutnya dengan “pendidikan gaya bank”
yang memang menindas dan kontra pembebasan. Pola yang ada adalah bercerita,
seorang subyek bercerita (Dosen) dan obyek lain patuh mendengarkan (mahasiswa).
Dosen dalam proses pembelajaran adalah menceritakan realitas-realitas, seperti
sesuatu yang bersifat statis. Sehingga Freire menganalogikan peserta didik yang
seperti itu ibarat “bejana-bejana”, wadah kosong untuk diisi oleh dosen. Semakin penuh dia mengisi
wadah-wadah itu, maka semakin baik pula seorang dosen, semakin baik pula
mahasiswa yang diajarnya.
Freire juga menawarkan konsep pendidikan hadap
masalah (Problem posing) yang
akan menolak pernyataan-pernyataan tetapi menimbulkan komunikasi. Menuntut
adanya pemecahan masalah kontradiksi antara pengajar dan peserta ajar yang
pasti menggunakan cara dialogis. Salah satu cirinya yaitu pendidikan hadap masalah
manusia mengembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis cara mereka
berada dalam dunia dengan mana dan dalam mana mereka menemukan diri sendiri :
mereka akan memandang dunia bukan sebagai realitas statis, tetapi realitas yang
berada dalam proses dalam gerak perubahan.
Salah
satunya seperti opini yang dikatakan Dandy Dwi Laksono, seorang videografer
yang membuat film dokumenter selama 1 tahun penuh di 2015. Ia mencontohkan pendidikan
SMK jurusan pariwisata. Kurikulum yang dipakai sekolah mengajarkan bagaimana
mengelola atau bekerja pada hotel, industri wisata atau bagaimana menjadi
karyawan hotel dan pariwisata. Bukan untuk berinovasi untuk mengembangkan
potensi wilayah dan menjaga kearifan lokal budaya sekitarnya, sehingga ia
menyebutkan kalau sistem pendidikannya memang mencetak para siswanya menjadi
buruh kerja.
Lantas
bagaimana dengan kampus Polije? Apakah mahasiswanya hanya mencari gelar akademis
tanpa tau esensi dari mengerjakan skripsi atau tugas akhir? Dengan cara patuh
kepada aturan-aturan kampus tanpa ada pembahasan dan menganalisa efek yang
ditimbulkan. Jika memang iya, baiknya saya amini kata-kata dari Intan bahwa
mahasiswa Politeknik memang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan korporasi.
Ah,
sudahlah. Tulisan saya terlalu panjang dan rumput sudah lelah bergoyang. Lebih
baik kita merapat dan berdiskusi.
Oleh
: Ahmad Junaidi Al Jawawi