23.33
Ilustrasi Wisuda. Doc. Istimewa


“Jika pun mahasiswa politeknik berkumpul dan berdiskusi, hasilnya paling sering adalah seminar kewirausahaan. Maka pengetahuan mahasiswa politeknik tak jauh-jauh dari kemampuan marketing, keahlian merakit mobil listrik, serta kiat-kiat menjadi sekretaris korporat yang kebijakannya sering dikritisi mahasiswa universitas itu.

Sontak saya kaget membaca tulisan mahasiswa asal semarang ini. Ruhaeni Intan, mahasiswa Politeknik Negeri Semarang ini seperti berpikiran hal yang mungkin dipandang nyeleweng jika dipandang sepintas. Tulisan yang berjudul Universitas Ahmad Dahlan sebaiknya berubah menjadi Politeknik Ahmad Dahlan jika tidak ingin dikritik yang ia kirim pada redaksi Persma.org ini menanggapi sikap dari Wakil Rektor III Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Abdul Fadlil, yang membekukan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros karena selalu memberitakan kebijakan-kebijakan kampus UAD.

Tapi bukan masalah pembekuan LPM Poros yang akan saya singgung dalam tulisan ini. Yang lebih menarik bagi saya yaitu, kata-kata Intan yang secara tidak langsung menyebutkan bahwa mahasiswa politeknik disiapkan untuk bekerja di perusahaan korporasi. Apakah mahasiswa politeknik memang disiapkan menjadi pekerja atau buruh kontrak setelah ia lulus, atau akan berwirausaha dengan bekal ilmu yang didapatkan selama kuliah?
**
Beberapa bulan kebelakang kegiatan perkuliahan membuat pikiran saya cepat suntuk. Dalam semester VI ini saya menerima mata kuliah Penulisan Ilmiah dan Metode Penelitian. Setiap pertemuan mahasiswa dibimbing agar dapat menentukan topik permasalahan, latar belakang dari masalah untuk rencana penelitian kedepan, yang outputnya menjadi bekal dalam penyusunan skripsi.

Mata kuliah ini biasa diterima akademik khususnya mahasiswa semester IV untuk D3 dan semester VI untuk D4. Memang waktu yang tepat agar mahasiswa selama semster IV atau VI dapat menentukan bidang yang ia minat untuk di rumuskan menjadi judul skripsinya. Rencananya, pada semester V atau VII dapat melaksanakan seminar dan pelaksanaan penelitian, Semester VI atau VIII pelaksanaan PKL, revisi dan sidang. Tempat PKL biasanya bertempat pada perusahaan, instistusi yang sesuai dengan program studinya.

Misalnya, pada mahasiswa Jurusan Peternakan. Ia diwajibkan melaksanakan PKL di perusahaan besar contohnya Charoend Phokpand selama beberapa bulan. Mahasiswa akan belajar bekerja di sana sekaligus mengimplementasikan materi yang pernah dipelajari di kampus. Jadwal yang sudah di tentukan tersebut seperti memaksa mahasiswa harus berfokus pada studinya agar ia dapat sesuai target untuk lulus tepat waktu, 3 tahun untuk D3 dan 4 tahun untuk D4.

Namun sampai akhir semester VI teman-teman seprodi saya belum mendapat Dosen Pembimbing Utama (DPU) dan Dosen Pembimbing Anggota (DPA). Kondisi ini membuat beberapa teman saya merasa gelisah karena tidak dapat segera melakukan bimbingan kepada DPU dan DPA mereka.

Tidak hanya itu saja, beberapa waktu sebelumnya teman-teman saya sudah merasa mengeluh, karena mendapat tugas mencari topik dan beberapa jurnal yang dapat menguatkan topiknya. “Duh, angel golek jurnale” (duh, sulit mencari jurnalnya) beberapa keluhan yang sering saya dengar. Beberapa teman sudah mendapat topik dan juga mendapat persetujuan dari dosen koordinator skripsi yang bertugas memberikan DPU dan DPA untuk mahasiswanya.

Jika dalam rencana terdekat mereka merasa pengumuman DPU-DPA harus segera di umumkan, menurut saya mereka juga harus memikirkan rencana jangka panjang setelah selesai menyelesaikan skripsi. Bekerja? Menikah? Bukan itu saja.
***
Beberapa teman angkatan yang menjadi mahasiswa D3 sudah dari 2 semester lalu menggarap Tugas Akhir (TA), saya mendapat cerita jika banyak teman yang mengeluh dalam penggarapan TA dan laporan PKL. Mereka sampai mengorbankan waktu istirahat, begadang sampai larut malam karena harus menjaga sampel yang ia uji dilaboratorium, waktu refresing berkurang, sampai efeknya kesehatan tubuh mereka menjadi menurun, lalu sakit.

Tahap akhirnya setelah ujian PKL dan Ujian Skripsi atau TA, waktu yang dibangga-banggakan sebagai seorang mahasiswa datang. Ya, wisuda. Semua jerih payah seperti terbalas dengan wisuda. Ritual memindahkan tali topi toga dari kanan ke kiri. Eh, dari kiri ke kanan saya kurang paham karena saya belum merasakan diwisuda. Sungguh bahagia dan mengharukan.

Tapi apa sampai disana saja kisah kasih dari penggarapan TA dan skripsi? Setelah mereka menyelesaikan administrasi di kampus, kemana hasil jerih payah mereka? Apa sekedar menjadi koleksi di perpustakaan  lalu setelah rak sudah penuh kemudian dikilokan dan hanya membutuhkan selembar transkrip nilai untuk melamar pekerjaan.

Cara seperti itu yang ditekankan oleh birokrasi kampus Polije pada mahasiswa dengan menggunakan sistem pendidikannya. Seperti apa yang dikatakan oleh Martin Heidegger sebagai “manusia keseharian”. Heidegger menjelaskan dalam kesehariannya bahwa dalam menyibukkan diri pada setiap aktivitas tidak membawa orang itu keluar dari kecemasannya terhadap kematian tetapi akan mempercepat proses datangnya kematian. Apabila manusia itu sibuk dengan aktivitasnya sesaat bisa melupakan kematian, tetapi bila tanpa sadar ia merenungkan kehidupan ini saat itulah akan teringat dengan kematian yang menghampirinya.

Seperti yang terjadi pada mahasiswa saat ini, mereka terlalu sibuk dalam aktivitasnya sampai mereka lupa akan esensi dari tugas yang ia kerjakan untuk apa. Mahasiswa hanya bertujuan untuk segera menyelesaikan kewajibannya dan cepat lulus dengan tepat waktu. Logika mereka sudah dibutakan dengan imajinasi kebahagiaan dan kenyamanan yang ingin dicapai saat wisuda. Bahkan imajinasi sesaat menurut saya.
Menurut saya dengan logika kasar saja, kebahagiaan atau kenyamanan akan mengaburkan daya fokus dalam berpikir. Seperti kata-kata albert einstein bahwa “Gravitasi tidak berpengaruh kepada mereka yang sedang jatuh cinta”. Bukan berarti kaki dari sepasang kekasih tersebut tidak menempel pada bumi, tetapi mereka tidak akan memperdulikan pikiran atau penilaian orang di sekitarnya tentang mereka. Yang terpenting adalah kebahagian bersama di antara kedua individu itu.

Mahasiswa sudah terlalu dibuai dengan imajinasi kebahagiaan sesaat selama ritual wisuda, ia hanya mencari kenyamanan untuk dirinya semata. Ibaratnya lelaki yang sedang ereksi, memainkan alat kelamin lalu beberapa saat kemudian nccroot!!. Kebahagiaan sesaat pun didapatnya tanpa ada pemikiran untuk apa ia melakukannya dan apa output yang dihasilkan.

Jika masih ngambang dengan analogi diatas, sederhananya seperti ini. Mahasiswa dengan susah payah mengerjakan skripsi atau TA hanya menginginkan  agar cepat lulus dan segera bekerja, tanpa menelaah untuk apa ia beberapa bulan lalu bersusah-susah mengerjakan kewajibannya jika ujung-ujungnya hanya mengharapkan selembar kertas traskrip nilai. Ia tidak memikirnya hasil kerjanya pasca wisuda, apakah skripsi atau TA digunakan di tempat kerjanya atau ingin berfokus pada kegiatan lain yang masih berhubungan dengan Skripsi atau TA. Saya juga yakin, saat melamar pekerjaan judul penelitiannya tidak akan ditanya oleh perusahaan yang ia sodorkan proposal lamaran kerja.
***
Apakah Pendidikan Tinggi setingkat Politeknik Negeri Jember ini hanya menjadi batu loncatan sebelum bekerja? Apakah pendidikan dalam pandangan mahasiswa zaman sekarang dipandang sebagai tempat formal mencari gelar akademik? Atau paradigma para birokrat kampus sudah terdoktrin oleh sistem industrialisasi pendidikan yang mencetak mahasiswanya untuk segera lulus dan menjadi pekerja perakit mobil listrik, marketing dan sekretaris korporat seperti yang di katakan Intan?

Jika memang demikian, maka hal itu sudah berbeda presepsi dengan apa yang dianggap oleh Paulo Freire, pendidikan untuk pembebasan kaum tertindas. Pendidikan yang menurut Freire harus berintikan pembebasan kesadaran atau dialogika (memancing agar berdialog), membiarkan peserta didik mengucapkan sendiri perkataannya.

Kata penindasan di sini secara ekstrim menyebutkan secara fungsional yaitu penjinakan. Peserta didik digiring ke arah ketaatan bisu, dipaksa diam dan diharuskan memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum tertindas.

Bagaimana tidak, saat mahasiswa datang ke kampus untuk mengikuti kuliah dosen hanya membaca slide yang ada, atau memberi ceramah satu arah tanpa ada dialog dengan mahasiswa untuk menanggapi atau menambahi materi. Atau di saat praktikum dosen hanya mengecek tugas yang ia berikan minggu lalu, kemudian memerintah mengerjakan tugas berikutnya pada Buku Kerja Praktek Mahasiswa (BKPM)dan buru-buru meninggalkan kelas karena harus mengerjakan proyek lainnya.

Konsep pendidikan yang seperti itu Freire menyebutnya dengan “pendidikan gaya bank” yang memang menindas dan kontra pembebasan. Pola yang ada adalah bercerita, seorang subyek bercerita (Dosen) dan obyek lain patuh mendengarkan (mahasiswa). Dosen dalam proses pembelajaran adalah menceritakan realitas-realitas, seperti sesuatu yang bersifat statis. Sehingga Freire menganalogikan peserta didik yang seperti itu ibarat “bejana-bejana”, wadah kosong untuk diisi oleh dosen. Semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, maka semakin baik pula seorang dosen, semakin baik pula mahasiswa yang diajarnya.

Freire juga menawarkan konsep pendidikan hadap masalah (Problem posing) yang akan menolak pernyataan-pernyataan tetapi menimbulkan komunikasi. Menuntut adanya pemecahan masalah kontradiksi antara pengajar dan peserta ajar yang pasti menggunakan cara dialogis. Salah satu cirinya yaitu pendidikan hadap masalah manusia mengembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis cara mereka berada dalam dunia dengan mana dan dalam mana mereka menemukan diri sendiri : mereka akan memandang dunia bukan sebagai realitas statis, tetapi realitas yang berada dalam proses dalam gerak perubahan.

Salah satunya seperti opini yang dikatakan Dandy Dwi Laksono, seorang videografer yang membuat film dokumenter selama 1 tahun penuh di 2015. Ia mencontohkan pendidikan SMK jurusan pariwisata. Kurikulum yang dipakai sekolah mengajarkan bagaimana mengelola atau bekerja pada hotel, industri wisata atau bagaimana menjadi karyawan hotel dan pariwisata. Bukan untuk berinovasi untuk mengembangkan potensi wilayah dan menjaga kearifan lokal budaya sekitarnya, sehingga ia menyebutkan kalau sistem pendidikannya memang mencetak para siswanya menjadi buruh kerja.

Lantas bagaimana dengan kampus Polije? Apakah mahasiswanya hanya mencari gelar akademis tanpa tau esensi dari mengerjakan skripsi atau tugas akhir? Dengan cara patuh kepada aturan-aturan kampus tanpa ada pembahasan dan menganalisa efek yang ditimbulkan. Jika memang iya, baiknya saya amini kata-kata dari Intan bahwa mahasiswa Politeknik memang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan korporasi.

Ah, sudahlah. Tulisan saya terlalu panjang dan rumput sudah lelah bergoyang. Lebih baik kita merapat dan berdiskusi.
Oleh : Ahmad Junaidi Al Jawawi