Ilustrasi: Sistem Pendidikan Kapitalis, Dok. Istimewa |
Kalimat yang ditulis oleh
Agustin Fatimah dalam media sebelah tersebut, membuat saya Setiap kali dipaksa
didudukkan kembali, kemudian berintim dengan mesin pengetik, semacam laptop
ini, setiap kali itulah, saya seperti
ditagih hutang, dan hendak pergi melarikan diri begitu saja. Seperti saya
mencari ilmu harus dengan bekal yang penuh, lagu yang khusyuk, dan menyampaikan pesan yang dapat dipertanggung jawabkan
pada abad mendatang. Seakan saya datang hari ini, dengan cara yang sangat tidak
bertanggung jawab. Duduk, kemudian mengetikkan beberapa kalimat merespon
tentang kewajiban saya sebagai mahasiswa.
Menanggapi tulisan bung Ahmad
Junaidi pada media Explant dengan judul Skripsi
dan Alasan Cepat lulus. Kalimat Agustin tersebut mungkin sedikit alasan
kenapa mahasiswa memilih mempercepat mencabut status mahasiswanya. Tak hanya
itu, mahasiswa diharuskan lekas mencabut status mahasiswanya karena banyak
tanggung jawab menunggunya dan tantangan yang harus dipenuhi. Salah satu
contohnya membuktikan kepada orang tua sang kekasih bahwa dirinya sudah siap
menuju ke jenjang yang lebih serius, eits
baper yo.
Bung Ahmad Junaidi, sebagai
mahasiswa akhir, saya bukan tidak memikirkan esensi dari penyelesaian
penggarapan Tugas Akhir/Skrpsi ini, saya selalu memikirkan esensinya. Hal ini
dilakukan agar saya bisa lebih dekat 1 jam bersama dosen, mungkin ini juga bisa
menjadi ajang silaturahmi Mahasiswa dengan Dosennya, apalagi jika Dosen
pembimbingnya perempuan dan Cantik seperti Aura kasih, pasti saya tiap hari
menghadap dosen untuk konsultasi masalah percintaan penelitian saya.
Kembali ke topik. Dalam tulisan
bung Ahmad Junaidi A.J. menyebutkan bahwa mahasiswa sekarang terlalu sibuk
dengan aktivitasnya(Tugas Akhir/Skripsi, Red.)
tanpa memikirkan esensinya setelah itu. “Seperti yang terjadi pada mahasiswa
saat ini, mereka terlalu sibuk dalam aktivitasnya sampai mereka lupa akan
esensi dari tugas yang ia kerjakan untuk apa. Mahasiswa hanya bertujuan untuk
segera menyelesaikan kewajibannya
dan cepat lulus dengan tepat waktu”.
Sebagai mahasiswa saya punya
harapan dan cita-cita besar kedepannya, saya juga berharap cepat lulus karena
saya sudah bosen dengan lingkungan pendidikan yang penuh dengan kapitalisme
seperti sekarang ini, seperti yang dikatakan Andre Barahamin dalam karangannya
yang dimuat media tetangga dengan judul Kegalauan
Kritik Terhadap Pendidikan Tinggi di Indonesia. “Pandangan bahwa kampus
adalah wahana pendidikan untuk ‘memanusiakan manusia’ perlahan memudar. Hal ini
seiring terkuaknya berbagai macam kontroversi di dalamnya, seperti
proyek-proyek kerjasama dengan berbagai macam perusahaan, waktu studi yang
semakin ketat dan singkat, serta upaya-upaya menormalisasi kehidupan kampus
agar sesuai dengan karakter produk yang akan dihasilkannya: pekerja yang patuh
dan terampil”
Kalimat bung Andre Barahamin
benar adanya. Dilingkungan pendidikan era sekarang ini sudah melenceng dari
visi pendidikan yang dicita-citakan para pejuang terdahulu.
***
Di era globalisasi ini, tak kunjung lulus kuliah
terkadang membuat saya serba salah. Ketika saya tidak cepat lulus saya dihantui
dan dituntut untuk rajin datang ke kampus, tapi terkadang nantinya justru
enggan melangkahkan kaki karena kampus sudah tak lagi seasyik dulu. Banyak hal
yang melatarbelakangi saya untuk segera lulus.
Bung Ahmad Junaidi mungkin
bertanya-tanya kenapa sih harus lulus dengan cepet?
Keuntungan apa aja yang diperoleh? Memang yang cepet itu kebanyakan gak
enak? Keluar terlalu cepat misalnya, pasti gak enak banget. Pasangan kita gak
puas. Apalagi kalau keluarnya di dalem. Makin gak enak karena kebingungan, ups!!!
Mungkin ini sedikit
yang melatarbelakangi saya untuk cepat lulus
Hemat Anggaran
Selama ini, hampir seluruh mahasiswa pasti bayar dalam
mengenyam pendidikan, tak terkecuali saya. Dan itu bayarnya pake duit, bukan
pake daun. Nah, kalau saya betah tidak cepat-cepat mencabut status
saya di kampus sampe berwindu-windu misalnya, kebayang gak berapa pengeluaran saya?
Apalagi mahasiswa seperti saya yang hidup dengan bantuan uang rakyat. Pasti
banyak banget pengeluaran. Kalau ditabung, pasti bisa tuh nyaingin kekayaannya
Bill Gates, ah itu ilusinasi akibat kurang tidur.
Tidak dipungkiri perguruan tinggi seperti Politeknik Negeri
Jember ini sudah memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (UU-PT), Perguruan Tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) yang harus mengubah statutanya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan
Hukum (PTN-BH) melihat dari semakin mahalnya biaya pendidikan seperti adanya
Biaya Pengembangan Institusi. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh
M.Mario Hikmat A. dalam karangannya yang berjudul Merebut Hak Atas Kampus
“Perubahan kampus yang harusnya lebih dominan melakukan aktivitas untuk
menunjang kualitas intelektual, menjadi tempat diterapkannya serangkaian
kebijakan seperti privatisasi dan komersialisasi ruang-ruang pendidikan. Belum
lagi, Kebijakan PTN-BH sebagai produk liberalisasi pendidikan tinggi
mempersilahkan lembaga perguruan tinggi negeri yang bersangkutan untuk mencari
dana tambahan dalam menjalankan aktivitas kampus”.
Mencari dana tambahan ini yang menyebabkan kebijakan-kebijakan baru
untuk meraup Rupiah mulai dari BPI, Semester Antara, sewa laboratorium yang
besar hingga pembayaran UKT yang tidak sejalan dengan fasilitas yang didapat.
Cepat Mendapat kerja
Sesuai dengan sistem kapitalis dimana mahasiswa dicetak
untuk melayani kebutuhan pasar. Tentu saja pasar memiliki mekanismenya
sendiri untuk menentukan mana yang memiliki daya jual yang tinggi. Pabrik pun
sebagai perpanjangtanganan Pasar, berusaha mencetak komoditi yang sempurna
tanpa cacat. Selain itu, Pasokan tenaga kerja ‘kerah putih’ dibutuhkan secara
besar-besaran. Karena itu peranan universitas dan lembaga pendidikan sejenis
Polije ini menjadi semakin vital sebagai pemasok. Dalam posisi ini, kampus senantiasa
berusaha mengintegrasikan diri ke dalam tatanan ekonomi global sebagai
perusahaan sektor pendidikan. Ini kemudian menempatkan mahasiswa ke dalam dua
posisi yang saling berhubungan: sebagai pekerja, sekaligus komoditi. Dengan
demikian Maka program kaum borjuis ini akan gagal tentunya jika orang
seperti saya tidak cepat-cepat lulus nantinya saya akan menyumbang angka
pengangguran di Indonesia sebab mengalami persaingan yang ketat dengan seperti itu
untuk mendukung visi kaum kapitalis akan tergannggu.
***
Selama ini kebanyakan mahasiswa terdoktrin oleh kaum borjuis
sebagai pekerja, seperti opini yang diutarakan Andre Barahamin “Sebagai
Pekerja, para mahasiswa atau kader Universitas bekerja dalam kurun waktu yang
telah dibatasi untuk menciptakan komoditi berupa dirinya yang lebih
berpendidikan, lebih ahli dalam suatu bidang, sesuai dengan kebutuhan ‘gizi’
perekonomian”.
Namun, saya sepakat dengan sistem yang mengharuskan Mahasiswa untuk
segera mencabut status mahasiswanya dengan alasan seperti yang telah saya
uraikan diatas. Permasalahannya disini bukan masalah kapitalis atau bukan,
hanya saja saya mempertanyakan sistem tersebut.
Kenapa demikian? Mengutip kalimat dari karangan bung Ahmad “Beberapa
teman angkatan yang menjadi mahasiswa D3 sudah dari 2 semester lalu menggarap
Tugas Akhir (TA), saya mendapat cerita jika banyak teman yang mengeluh dalam
penggarapan TA dan laporan PKL. Mereka sampai mengorbankan waktu istirahat,
begadang sampai larut malam karena harus menjaga sampel yang ia uji dilaboratorium,
waktu refresing berkurang, sampai efeknya kesehatan tubuh mereka menjadi
menurun, lalu sakit” mungkin kalimat tersebut mengambarkan kondisi saya sebagai
lakon dalam drama kisah pilu mahasiswa akhir.
Tragisnya lagi terkadang masih ada Dosen pembimbing yang
mengekang Kebebasan mahasiswanya untuk selalu mengikuti kemauannya. Seperti
teman seangkatan saya, yang mana sampai tulisan ini terbit teman saya tersebut
belum selesai melaksanakan Ujian PKL (Praktek Kerja Lapang) dengan alasan Dosen
yang banyak macam permintaan. Kenapa
saya bicara seperti itu, saya mendengar cerita jika ia harus melakukan PKL di
dua lokasi perusahaan dan salah satu lokasinya adalah perusahaan yang
diinginkan oleh Dosen dan teman saya mau tidak mau harus PKL di perusahaan
tersebut .Di lain cerita, Saya juga mendengar cerita teman seangkatan bahwa ia diharuskan
melakukan pengujian dengan judul yang diberikan oleh dosennya. Mau tidak mau
dia harus mengikutinya, padahal dia sendiri kurang menyukai hal-hal yang
diinginkan dosen tersebut. Tak hanya itu, teman seangkatan saya, yang memilih
jenjang D4 juga mengeluhkan kebijakan yang tak menyejahterakan mahasiswa,
seperti penentuan Dosen Pembimbing hingga tulisan ini terbit belum kunjung di
bentuk. Jika memang mahasiswa diharuskan untuk cepat lulus seharusnya diberikan
pelayanan dan fasilitas yang memudahkan mahasiswa, tetapi kenyataannya seperti
dua sisi mata uang yang berbeda, Kenapa seperti ini?
Jika apa yang disampaikan bung Ahmad benar adanya tentang
lulus dipercepat, mbok yo dipermudah
proses Skripsi/TA pak-bu, toh nantinya
kumpulan karya itu tak ada apresiasinya, bisa jadi mungkin dikilokan.
Dengan demikian para elit pendidikan seharusnya meninjau lagi aturannya
agar bisa membentuk kultur akademis di kampus dan mengarahkan mahasiswa untuk
kembali menjadi “pembebas” sebagaimana dinyatakan oleh Paulo Freire.
Kok yah memikirkan semua ini, malah membuat saya jadi kangen mengulang mata
kuliah wirausaha. Tentu saja untuk alasan pendalaman, bukan alasan tinggal di
kampus berlama-lama. Akhir kata, selamat sarjana bagi yang mengikuti. Doakan kami segera menyusul.
oleh: Sugiyanto