|
Pagi yang
indah ditemani secangkir kopi hitam dan merasakan sejuta nikmatnya kopi
tersebut, sembari lihat-lihat berita, dan teringat dengan pesan seseorang
senior saya di organisasi tetangga beliau berkata jangan
terlalu Kudet, dan pada saat itu saya menanyakan kebenaran berita
yang menjadi tranding topic di hampir semua media. Benar
pesan yang disampaikan oleh kakak senior, cuman disini saya bersikap skeptis
terhadap berita apalagi masalah spele sampai memberikan keputusan besar. saya
belum yakin dan pada saat itu saya menanyakan keberannya tentang berita itu.
Kejadian ini terjadi ketika mahasiswa UNJ yang di Droup Out (DO)
karena dituduh melakukan pelanggaran ITE, pertanyaannya ini kan sudah malanggar
UU ITE kenapa pihak Rektor tidak melaporkan aja ke pihak berwajib? Namun tak sesimple itu.
Saya tidak permasalahhkan kasus ini, disini saya meragukan berita ini pada waktu
itu dan saya bersikap skeptis. Wajar kalau saya mempertanyakan kebenarannya,
Kakak senior tersebut menunjukkan link-link media yang meliput
kasus tersebut sebagai bukti kasus ini benar-benar ada, namun sekarang anehnya
kasus itu hilang bagai ditelan bumi. Dalam pesan tersebut juga disebutkan bahwa
dalam menerima berita tidak harus detail, benarkah? Pertanyaan yang selanjutnya
yaitu apa harus berita lama kita lupakan dan dikatakan basi jika sudah ada
berita yang ter up date? Saya rasa tidak seperti itu, seperti orang
pacaran aja, dapet pacar baru pacar lama dilupakan.
Dalam
kehidupan sikap skeptis memang tidak menjadi anjuran karena jika dalam tatanan
kehidupan social menggunakan sikap ini nanti dianggap sombong dan lain
sebagainya. Berbeda dengan seorang jurnalis atau persma sikap ini sangat
dianjurkan karena dengan sikap ini sebuah media akan memiliki nilai lebih dan
seperti yang digambarkan oleh Luwi Ishwara, penulis buku ini menggambarkan
sikap yang harus dipakai seorang jurnalis. Lebih lanjut, sikap skeptis ini juga
harus diterapkan pada media. Karena, hanya dengan sikap ini, sebuah media akan
“hidup”.
Kalau
dalam dunia sosial atau dalam pergaulan dengan masyarakat sikap skeptis
tidaklah menjadi tindakan yang dianjurkan, karena ketika seseorang bersikap
tidak percaya pada orang lain dianggap tidak menghargai orang lain. Berbeda
dengan itu, justru seorang jurnalis harus menanamkan sikap skeptis saat
menjalankan pekerjaannya. Karena dengan sikap ini, seorang jurnalis akan mampu
mengungkap fakta yang sebenarnya dari sebuah peristiwa.
Skeptis
berbeda dengan sikap sinis terhadap seseorang, karena inti dari sikap skeptis
adalah keraguan. Dan keraguan akan berpotensi untuk menanyakan lebih dalam.
Sedangkan inti dari sikap sinis adalah ketidakpercayaan terhadap seseorang. Dan
sikap sinis ini sangat dianjurkan untuk dihindari dalam dunia jurnalistik.
Karena, hanya akan menutupi kebenaran yang bisa terungkap.
Skeptisisme sebagai Metode pembuktian
kebenaran
Bapak dari filsafat modern adalah Rene
Descartes (ungkapan terkenalnya: Cogito ergo sum = Saya
berpikir maka saya ada/saya ada karena saya berpikir). Ciri utama filsafatnya
adalah refleksi yang mendalam dan berkelanjutan tentang tema kesadaran. Para
filsuf setelah Descartes juga pada akhirnya menjadikan tema kesadaran sebagai
tema refleksi filosofis mereka. Descartes memberikan suatu bentuk metode baru
di dalam kegiatan berfilsafat, yakni yang disebutnya sebagai metode
skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme metodis. Tujuan dari
metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang
kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes.
Untuk mendapatkan kepastian dasariah dan
kebenaran yang kokoh itu, Descartes mulai dengan meragukan segala sesuatu. Ia
meragukan kepastian benda-benda material yang ada di sekitarnya, dan bahkan
sampai meragukan keberadaan dirinya sendiri. Jika semua hal di dunia ini bisa
diragukan, lalu apakah yang bisa dijadikan sebagai pegangan kokoh? Pada hemat
Descartes satu hal setidaknya yang tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa
"saya sedang meragukan". Jadi walaupun seluruh dunia adalah hasil
manipulasi, namun fakta bahwa aku sedang meragukan seluruh dunia bukanlah
sebuah manipulasi. Inti dari sikap meragukan adalah berpikir, maka berpikir
juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak terbantahkan. Jelaslah bahwa
keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan, melainkan justru
membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme Descartes bisa
juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif.
Cara berpikir skeptis yang lebih radikal
dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris, David Hume. Dengan membaca
tulisan-tulisan Hume, orang akan mendapatkan kesan, bahwa ia hendak
menghancurkan filsafat. Namun, tujuan dasar Hume bukanlah menghancurkan
filsafat, melainkan mau melengkapi filsafat dengan sebuah metode berpikir yang
ketat dan sistematis. Untuk itu Hume kemudian menggunakan cara berpikir
skeptis. Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah metafisika tradisional.
Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan
akal budi manusia. Dalam arti ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan
penyelidikan terhadap realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi
sudah menjadi mirip dengan mitos dan tahayul.
Hume ingin melakukan kritik tajam terhadap
tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa seluruh realitas
terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, pemikiran-pemikiran religius,
konsep sebab-akibat yang berada di dalam ilmu pengetahuan, dan konsep substansi
yang dianut oleh para pemikir empiris (meyakini bahwa sumber utama pengetahuan
adalah pengalaman inderawi). Kita akan coba membahas tiga bentuk kritik
tersebut.
Pertama, para pemikir rasionalis yakin bahwa realitas itu adalah
suatu substansi. Artinya realitas adalah satu kesatuan yang bersifat utuh dan
mutlak. Ide kesatuan itu biasanya muncul dari pengamatan. Jadi kesatuan adalah
kesan yang muncul ketika orang mulai secara detail mengamati sesuatu. Karena
hanya didasarkan pada kesan, maka kesatuan, atau substansi, tidak lebih dari
sekedar khayalan manusia semata. Substansi adalah kumpulan persepsi semata.
Jadi seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions)
manusia semata.
Kritik kedua Hume yang
sampai sekarang masih relevan adalah kritiknya terhadap kausalitas
(sebab-akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi
tepat setelah peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi
Hume konsep sebab-akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan.
Konsep kausalitas lebih didasarkan pada kebingungan daripada kejernihan. Hume
sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa memiliki hubungan yang satu dengan yang
lainnya. Namun hubungan itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas.
Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan
kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan,
terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume
untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas sebagai
kepercayaan naif (animal faith).
Kritik ketiga Hume
difokuskan pada agama. Baginya, orang beragama haruslah menggunakan cara
berpikir skeptisisme sehat, yakni cara berpikir yang meragukan berbagai aspek
mitologis dan tahayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada karakternya
yang rasional dan empiris.
Salah satu keraguan andalan kaum sofis dan
skeptis yang mereka ungkapkan dalam berbagai format dan mereka sodorkan dalam
berbagai contoh ialah keraguan berikut: "Terkadang seseorang memperoleh
kepastian tentang keberadaan sesuatu dengan panca indra, tetapi sebentar
kemudian dia menyadari bahwa kekeliruan telah terjadi". Orang tersebut
kemudian mengetahui bahwa persepsi inderawi tidak selalu bisa dipercaya.
Seterusnya, timbul kemungkinan bahwa semua persepsi indrawi lain pun bisa
salah, hingga suatu ketika dia melihat kekeliruan terjadi secara nyata. Begitu
pula adakalanya seseorang menemukan suatu prinsip yang bersifat pasti secara
rasional, tetapi kemudian mengetahui bahwa penalarannya rancu, lantas
kepastiannya beralih menjadi keraguan. Akibatnya, dia mengetahui bahwa
penalaran intelektual pun tidak selalu dapat diandalkan. Kesimpulannya,
penginderaan dan penalaran sama-sama tidak dapat dipercaya sehingga tinggallah
keraguan yang tersisa.
oleh: Sugiyanto
Sumber:
F.
Budi Hardiman, Filsafat Modern,
Jakarta, Gramedia, 2004, hal. 37-93.
Keraf,
Sony. Mikhael Dua, 2001. Ilmu
Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius