07.40
Ilustrasi: indonesianskepticsociety.wordpress.com / Explant
 
Pagi yang indah ditemani secangkir kopi hitam dan merasakan sejuta nikmatnya kopi tersebut, sembari lihat-lihat berita, dan teringat dengan pesan seseorang senior saya di organisasi tetangga beliau berkata jangan terlalu Kudet, dan pada saat itu saya menanyakan kebenaran berita yang menjadi tranding topic di hampir semua media. Benar pesan yang disampaikan oleh kakak senior, cuman disini saya bersikap skeptis terhadap berita apalagi masalah spele sampai memberikan keputusan besar. saya belum yakin dan pada saat itu saya menanyakan keberannya tentang berita itu. Kejadian ini terjadi ketika mahasiswa UNJ yang di Droup Out (DO) karena dituduh melakukan pelanggaran ITE, pertanyaannya ini kan sudah malanggar UU ITE kenapa pihak Rektor tidak melaporkan aja ke pihak berwajib? Namun tak sesimple itu. Saya tidak permasalahhkan kasus ini, disini saya meragukan berita ini pada waktu itu dan saya bersikap skeptis. Wajar kalau saya mempertanyakan kebenarannya, Kakak senior tersebut menunjukkan link-link media yang meliput kasus tersebut sebagai bukti kasus ini benar-benar ada, namun sekarang anehnya kasus itu hilang bagai ditelan bumi. Dalam pesan tersebut juga disebutkan bahwa dalam menerima berita tidak harus detail, benarkah? Pertanyaan yang selanjutnya yaitu apa harus berita lama kita lupakan dan dikatakan basi jika sudah ada berita yang ter up date? Saya rasa tidak seperti itu, seperti orang pacaran aja, dapet pacar baru pacar lama dilupakan.

Dalam kehidupan sikap skeptis memang tidak menjadi anjuran karena jika dalam tatanan kehidupan social menggunakan sikap ini nanti dianggap sombong dan lain sebagainya. Berbeda dengan seorang jurnalis atau persma sikap ini sangat dianjurkan karena dengan sikap ini sebuah media akan memiliki nilai lebih dan seperti yang digambarkan oleh Luwi Ishwara, penulis buku ini menggambarkan sikap yang harus dipakai seorang jurnalis. Lebih lanjut, sikap skeptis ini juga harus diterapkan pada media. Karena, hanya dengan sikap ini, sebuah media akan “hidup”.

Kalau dalam dunia sosial atau dalam pergaulan dengan masyarakat sikap skeptis tidaklah menjadi tindakan yang dianjurkan, karena ketika seseorang bersikap tidak percaya pada orang lain dianggap tidak menghargai orang lain. Berbeda dengan itu, justru seorang jurnalis harus menanamkan sikap skeptis saat menjalankan pekerjaannya. Karena dengan sikap ini, seorang jurnalis akan mampu mengungkap fakta yang sebenarnya dari sebuah peristiwa.

Skeptis berbeda dengan sikap sinis terhadap seseorang, karena inti dari sikap skeptis adalah keraguan. Dan keraguan akan berpotensi untuk menanyakan lebih dalam. Sedangkan inti dari sikap sinis adalah ketidakpercayaan terhadap seseorang. Dan sikap sinis ini sangat dianjurkan untuk dihindari dalam dunia jurnalistik. Karena, hanya akan menutupi kebenaran yang bisa terungkap.

Skeptisisme sebagai Metode pembuktian kebenaran
Bapak dari filsafat modern adalah Rene Descartes (ungkapan terkenalnya: Cogito ergo sum = Saya berpikir maka saya ada/saya ada karena saya berpikir). Ciri utama filsafatnya adalah refleksi yang mendalam dan berkelanjutan tentang tema kesadaran. Para filsuf setelah Descartes juga pada akhirnya menjadikan tema kesadaran sebagai tema refleksi filosofis mereka. Descartes memberikan suatu bentuk metode baru di dalam kegiatan berfilsafat, yakni yang disebutnya sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme metodis. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes.  

Untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh itu, Descartes mulai dengan meragukan segala sesuatu. Ia meragukan kepastian benda-benda material yang ada di sekitarnya, dan bahkan sampai meragukan keberadaan dirinya sendiri. Jika semua hal di dunia ini bisa diragukan, lalu apakah yang bisa dijadikan sebagai pegangan kokoh? Pada hemat Descartes satu hal setidaknya yang tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa "saya sedang meragukan". Jadi walaupun seluruh dunia adalah hasil manipulasi, namun fakta bahwa aku sedang meragukan seluruh dunia bukanlah sebuah manipulasi. Inti dari sikap meragukan adalah berpikir, maka berpikir juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak terbantahkan. Jelaslah bahwa keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan, melainkan justru membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif.

Cara berpikir skeptis yang lebih radikal dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris, David Hume. Dengan membaca tulisan-tulisan Hume, orang akan mendapatkan kesan, bahwa ia hendak menghancurkan filsafat. Namun, tujuan dasar Hume bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan mau melengkapi filsafat dengan sebuah metode berpikir yang ketat dan sistematis. Untuk itu Hume kemudian menggunakan cara berpikir skeptis. Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah metafisika tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia. Dalam arti ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi mirip dengan mitos dan tahayul.

Hume ingin melakukan kritik tajam terhadap tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa seluruh realitas terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, pemikiran-pemikiran religius, konsep sebab-akibat yang berada di dalam ilmu pengetahuan, dan konsep substansi yang dianut oleh para pemikir empiris (meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah pengalaman inderawi). Kita akan coba membahas tiga bentuk kritik tersebut.

Pertama, para pemikir rasionalis yakin bahwa realitas itu adalah suatu substansi. Artinya realitas adalah satu kesatuan yang bersifat utuh dan mutlak. Ide kesatuan itu biasanya muncul dari pengamatan. Jadi kesatuan adalah kesan yang muncul ketika orang mulai secara detail mengamati sesuatu. Karena hanya didasarkan pada kesan, maka kesatuan, atau substansi, tidak lebih dari sekedar khayalan manusia semata. Substansi adalah kumpulan persepsi semata. Jadi seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions) manusia semata.

Kritik kedua Hume yang sampai sekarang masih relevan adalah kritiknya terhadap kausalitas (sebab-akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi tepat setelah peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi Hume konsep sebab-akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan. Konsep kausalitas lebih didasarkan pada kebingungan daripada kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Namun hubungan itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan, terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas sebagai kepercayaan naif (animal faith).  

Kritik ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya, orang beragama haruslah menggunakan cara berpikir skeptisisme sehat, yakni cara berpikir yang meragukan berbagai aspek mitologis dan tahayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada karakternya yang rasional dan empiris.

Salah satu keraguan andalan kaum sofis dan skeptis yang mereka ungkapkan dalam berbagai format dan mereka sodorkan dalam berbagai contoh ialah keraguan berikut: "Terkadang seseorang memperoleh kepastian tentang keberadaan sesuatu dengan panca indra, tetapi sebentar kemudian dia menyadari bahwa kekeliruan telah terjadi". Orang tersebut kemudian mengetahui bahwa persepsi inderawi tidak selalu bisa dipercaya. Seterusnya, timbul kemungkinan bahwa semua persepsi indrawi lain pun bisa salah, hingga suatu ketika dia melihat kekeliruan terjadi secara nyata. Begitu pula ada­kalanya seseorang menemukan suatu prinsip yang bersifat pasti secara rasional, tetapi kemudian mengetahui bahwa penalarannya rancu, lantas kepastiannya beralih menjadi keraguan. Akibatnya, dia mengetahui bahwa penalaran intelektual pun tidak selalu dapat diandalkan. Kesimpulannya, penginderaan dan penalaran sama-sama tidak dapat dipercaya sehingga tinggallah keraguan yang tersisa.


oleh: Sugiyanto
Sumber:
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta, Gramedia, 2004, hal. 37-93. 
Keraf, Sony. Mikhael Dua, 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius