sumber:http://www.arahjuang.com/ |
“Liberalisasi Pendidikan akan membawa illicit education trade seperti penjualan gelar dan ijasah,
pendirian sekolah oleh kelompok politik-teologi yang mengajarkan nilai
nondemokratis, pembajakan hak kepemilikan intelektual”.
Moises Naim
Mungkin tidak semua kalangan civitas
akademik di lingkungan pendidikan tinggi mengetahui apa itu Pendidikan Tinggi Negeri
Badan Hukum (PTNBH), salah satunya Mahasiswa. Kenapa saya menyampaikan
demikian, Mahasiswa di Politeknik Negeri
Jember misalnya, tidak semua kalangan mahasiswa mengerti dan paham
tentang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, dibuktikan ketika Direktur Polije
menyampaikan amanat dalam memperingati HUT RI ke-71 bahwa Polije diundang oleh
Menteri untuk Membahas PTNBH bersama dengan 13 Politeknik Negeri lainnya di
Indonesia, kebanyakan mahasiswa merasa senang dan bertepuk tangan seakan Polije
meraih medali emas di Olimpiade RIO 2016.
Saya tidak menyalahkan mahasiswa
kenapa kaum intelektual seperti
mahasiswa kurang memahami hal tersebut, mungkin kekurangpahaman mahasiswa
disebabkan oleh kebijakan yang diterapkan birokrat demi memenuhi tuntutan pasar.
Perlu diketahui bahwa kebijakan PTN
Badan Hukum merupakan isi dari UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(selanjutnya disebut UU Dikti) tepatnya pada Pasal 65 yang telah menyatakan hal
tersebut dengan gamblang. Tepat pada tanggal 13 Juli 2012, pemerintah
mengesahkan sebuah UU yang mengatur pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.
UU yang telah dibahas sejak 2010 (setelah UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum –selanjutnya disebut UU BHP—
Pendidikan dibatalkan) ini akhirnya disahkan, walau menghadapi berbagai
penolakan publik, terutama dari civitas perguruan tinggi.
Mengutip artikel yang ditulis
oleh Richard A.M. Napituputu, (2012)
dengan judul Menyikapi Lahirnya UU Pendidikan Tinggi No 12 Tahun 2012
menjelaskan bahwa pokok pemikiran awal munculnya UU Dikti ini adalah menjadikan
pendidikan sebagai alat untuk bersaing dan kemitraan antar bangsa dalam era
globalisasi. Tujuannya agar mampu mewujudkan satu sistem pendidikan tinggi yang
menghasilkan intelektual, ilmuwan profesional yang berbudaya, kreatif,
toleransi, demokatis, dan berkarakter tanggap
serta berani membela kebenaran kepentingan bangsa dan umat indonesia. Untuk
itulah, UU Pendidikan Tinggi diperlukan agar pendidikan tinggi dapat memenuhi
keinginan pemerintah sebagai sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan
pengembangan bangsa.
Pertanyaannya apakah Pendidikan Tinggi
yang menerapkan UU Dikti ini sudah
mewujudkan sistem pendidikan tinggi yang demokratis, serta berani membela
kebenaran? Saya rasa tidak, sebab Perguruan
Tinggi Badan Hukum dengan otonomnya seakan memainkan haknya tersebut seenaknya
sendiri, penerapan BPI, Penerapan sistem seleksi dari beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA) misalnya yang sangat jauh dari kata Demokratis. Saya
tidak paham kenapa Birokrat begitu bernafsu menerapkan kebijakan ini, apakah
karena untuk menghemat anggaran? Entahlah hanya Birokrat dan Tuhan yang tahu.
Berbicara Otonomi kampus, merupakan sebuah sistem yang “menyesatkan”.
Mengapa tidak “menyesatkan”, lha wong otonomi
perguruan tinggi masih dipersoalkan. Ada kesalahan persepsi di
kalangan masyarakat dan pimpinan perguruan tinggi. Misalnya terkait otonomi
non-akademik seperti dana pendidikan. Masyarakat mengira implementasi otonomi
perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung
mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan perguruan tinggi menganggap otonomi
perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu
dengan menggalang dana dari mahasiswa. Itu masih menyangkut otonomi
non-akademik, belum lagi menyangkut soal otonomi khusus dibidang akademik.
Selain
itu, semangat otonom ditujukan bukan untuk memperbaiki pendidikan tinggi di
Indonesia melainkan untuk memenuhi kebutuhan pasar, sebagaimana yang
disampaikan oleh Heru
Nugroho (2006) dalam karangannya Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa semangat otonomi
yang lahir setelah masa reformasi pada kenyataannya justru melahirkan
‘banalitas intelektual,’ yaitu munculnya intelektual yang gemar mengerjakan
proyek, tampil sebagai selebriti akademik, namun melupakan produksi pengetahuan
di kampusnya.
Hal ini terbukti dengan dituntutnya
mahasiswa harus mengejar juara dalam kompetisi, bukan mengejar pengetahuan
dalam sebuah lembaga pendidikan, dengan alasan demi nama baik birokrat, sudah
pasti seperti itu, karena demi mencapai visi menjadikan Politeknik Negeri
Jember terkemuka di Asia tahun 2025.
Selain itu, mahasiswa dijadikan produk
untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan
Hadiz dan Robison (2004) dikutip dari Umar (2012), menjelaskan bahwa
praktik-praktik kekuasaan baru semakin
mengarah pada peneguhan ‘kekuasaan pasar’ yang
muncul kembali pasca-keruntuhan Orde Baru. Konsekuensi paling nampak dari
peneguhan kekuasaan pasar adalah komersialisasi dan pencabutan sedikit demi
sedikit subsidi atas pendidikan tinggi dengan dalih otonomi kampus.
***
Sejek disahkan UU Pendidikan Tinggi No
12 tahun 2012, banyak penolakan yang muncul dari beberapa kalangan, salah
satunya Mahasiswa. Penolakan ini bukan tanpa alasan, beberapa elemen masyarakat
menganggap hal ini bisa menjadikan Pendidikan bukan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa lagi, namun dimungkinkan terjadinya praktik komersalisasi dan
liberalisasi
Sebagaimana yang dikutip dari tulisan Umar, Ahmad Rizky
Mardhatillah. (2012) dalam karangannya yang berjudul UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme, menyatakan bahwa putusan pembatalan
UU BHP terlihat jelas bahwa konsep ‘Badan Hukum’ yang ditafsirkan oleh Mahkamah
Konstitusi dimaksud bukanlah nama atau bentuk hukum tertentu, melainkan fungsi
penyelenggaraan pendidikan. Jika yang dimaksud adalah ‘Badan Hukum’ secara
kelembagaan, konsekuensnya masih akan sangat memungkinkan PTN melakukan praktik
komersialisasi dan liberalisasi, di antaranya melalui pendirian badan usaha
ataupun kerjasama industri. Maksud dari Komersialisasi disini adalah pendidikan
dijadikan instrument untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri, bukan
sebagai proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat. Sedangkan liberalisasi adalah
masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan. Dengan
demikian nantinya akan ada pendidikan yang dimiliki oleh asing, dan dikelola
sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan
investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi
pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan
berorientasi kepada laba.
Sehingga posisi PTN
yang menerapkan sistem ‘Badan Hukum’ mengisyaratkan adanya otonomi non-akademik
serta kebebasan PTN untuk menentukan ‘tarif’ sendiri. Hal ini dipertegas oleh
PP 58/2013 yang memberi dasar operasional bagi penentuan PTN Badan Hukum.
Dengan demikian penerapan sistem Badan Hukum ini akan menyebabkan
persaingan antar pendidikan tinggi. Kondisi ini akan membuat pendidikan menjadi
mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat dengan dalih
pengembangan institusi. Maka hal ini akan menyebabkan ketimpangan sosial, hanya
lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang
berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses
terhadap pendidikan yang berkualitas.
Hidup Mahasiswa!!!!
Oleh: Sugiyanto