19.24

Ilustrasi: Sistem Pendidikan Kapitalis, Dok. Istimewa
“Saat status mahasiswa sudah kamu jabat melebihi waktu yang ditentukan, maka gak jarang kamu akan terserang rasa takut untuk melangkahkan kaki ke kampus. Layaknya hantu, bayang-bayang tidak menyenangkan akan menyelimuti pikiranmu sejak bangun pagi”.

Kalimat yang ditulis oleh Agustin Fatimah dalam media sebelah tersebut, membuat saya Setiap kali dipaksa didudukkan kembali, kemudian berintim dengan mesin pengetik, semacam laptop ini, setiap  kali itulah, saya seperti ditagih hutang, dan hendak pergi melarikan diri begitu saja. Seperti saya mencari ilmu harus dengan bekal yang penuh, lagu yang khusyuk, dan menyampaikan pesan yang dapat dipertanggung jawabkan pada abad mendatang. Seakan saya datang hari ini, dengan cara yang sangat tidak bertanggung jawab. Duduk, kemudian mengetikkan beberapa kalimat merespon tentang kewajiban saya sebagai mahasiswa.

Menanggapi tulisan bung Ahmad Junaidi pada media Explant dengan judul Skripsi dan Alasan Cepat lulus. Kalimat Agustin tersebut mungkin sedikit alasan kenapa mahasiswa memilih mempercepat mencabut status mahasiswanya. Tak hanya itu, mahasiswa diharuskan lekas mencabut status mahasiswanya karena banyak tanggung jawab menunggunya dan tantangan yang harus dipenuhi. Salah satu contohnya membuktikan kepada orang tua sang kekasih bahwa dirinya sudah siap menuju ke jenjang yang lebih serius, eits baper yo.

Bung Ahmad Junaidi, sebagai mahasiswa akhir, saya bukan tidak memikirkan esensi dari penyelesaian penggarapan Tugas Akhir/Skrpsi ini, saya selalu memikirkan esensinya. Hal ini dilakukan agar saya bisa lebih dekat 1 jam bersama dosen, mungkin ini juga bisa menjadi ajang silaturahmi Mahasiswa dengan Dosennya, apalagi jika Dosen pembimbingnya perempuan dan Cantik seperti Aura kasih, pasti saya tiap hari menghadap dosen untuk konsultasi masalah percintaan penelitian saya.

Kembali ke topik. Dalam tulisan bung Ahmad Junaidi A.J. menyebutkan bahwa mahasiswa sekarang terlalu sibuk dengan aktivitasnya(Tugas Akhir/Skripsi, Red.) tanpa memikirkan esensinya setelah itu. “Seperti yang terjadi pada mahasiswa saat ini, mereka terlalu sibuk dalam aktivitasnya sampai mereka lupa akan esensi dari tugas yang ia kerjakan untuk apa. Mahasiswa hanya bertujuan untuk segera menyelesaikan kewajibannya dan cepat lulus dengan tepat waktu”.

Sebagai mahasiswa saya punya harapan dan cita-cita besar kedepannya, saya juga berharap cepat lulus karena saya sudah bosen dengan lingkungan pendidikan yang penuh dengan kapitalisme seperti sekarang ini, seperti yang dikatakan Andre Barahamin dalam karangannya yang dimuat media tetangga dengan judul Kegalauan Kritik Terhadap Pendidikan Tinggi di Indonesia. “Pandangan bahwa kampus adalah wahana pendidikan untuk ‘memanusiakan manusia’ perlahan memudar. Hal ini seiring terkuaknya berbagai macam kontroversi di dalamnya, seperti proyek-proyek kerjasama dengan berbagai macam perusahaan, waktu studi yang semakin ketat dan singkat, serta upaya-upaya menormalisasi kehidupan kampus agar sesuai dengan karakter produk yang akan dihasilkannya: pekerja yang patuh dan terampil”

Kalimat bung Andre Barahamin benar adanya. Dilingkungan pendidikan era sekarang ini sudah melenceng dari visi pendidikan yang dicita-citakan para pejuang terdahulu.

***
Di  era globalisasi ini, tak kunjung lulus kuliah terkadang membuat saya serba salah. Ketika saya tidak cepat lulus saya dihantui dan dituntut untuk rajin datang ke kampus, tapi terkadang nantinya justru enggan melangkahkan kaki karena kampus sudah tak lagi seasyik dulu. Banyak hal yang melatarbelakangi saya untuk segera lulus.

Bung Ahmad Junaidi mungkin bertanya-tanya kenapa sih harus lulus dengan cepet? Keuntungan apa aja yang diperoleh?  Memang yang cepet itu kebanyakan gak enak? Keluar terlalu cepat misalnya, pasti gak enak banget. Pasangan kita gak puas. Apalagi kalau keluarnya di dalem. Makin gak enak karena kebingungan, ups!!!

Mungkin ini sedikit yang melatarbelakangi saya untuk cepat lulus

Hemat Anggaran

Selama ini, hampir seluruh mahasiswa pasti bayar dalam mengenyam pendidikan, tak terkecuali saya. Dan itu bayarnya pake duit, bukan pake daun. Nah, kalau saya betah tidak cepat-cepat mencabut status saya di kampus sampe berwindu-windu misalnya, kebayang gak berapa pengeluaran saya? Apalagi mahasiswa seperti saya yang hidup dengan bantuan uang rakyat. Pasti banyak banget pengeluaran. Kalau ditabung, pasti bisa tuh nyaingin kekayaannya Bill Gates, ah itu ilusinasi akibat kurang tidur.

Tidak dipungkiri perguruan tinggi seperti Politeknik Negeri Jember ini sudah memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU-PT), Perguruan Tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang harus mengubah statutanya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) melihat dari semakin mahalnya biaya pendidikan seperti adanya Biaya Pengembangan Institusi. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh M.Mario Hikmat A. dalam karangannya yang berjudul Merebut Hak Atas Kampus “Perubahan kampus yang harusnya lebih dominan melakukan aktivitas untuk menunjang kualitas intelektual, menjadi tempat diterapkannya serangkaian kebijakan seperti privatisasi dan komersialisasi ruang-ruang pendidikan. Belum lagi, Kebijakan PTN-BH sebagai produk liberalisasi pendidikan tinggi mempersilahkan lembaga perguruan tinggi negeri yang bersangkutan untuk mencari dana tambahan dalam menjalankan aktivitas kampus”.

Mencari dana tambahan ini yang menyebabkan kebijakan-kebijakan baru untuk meraup Rupiah mulai dari BPI, Semester Antara, sewa laboratorium yang besar hingga pembayaran UKT yang tidak sejalan dengan fasilitas yang didapat.

Cepat Mendapat kerja

Sesuai dengan sistem kapitalis dimana mahasiswa dicetak untuk melayani kebutuhan pasar. Tentu saja pasar memiliki mekanismenya sendiri untuk menentukan mana yang memiliki daya jual yang tinggi. Pabrik pun sebagai perpanjangtanganan Pasar, berusaha mencetak komoditi yang sempurna tanpa cacat. Selain itu, Pasokan tenaga kerja ‘kerah putih’ dibutuhkan secara besar-besaran. Karena itu peranan universitas dan lembaga pendidikan sejenis Polije ini menjadi semakin vital sebagai pemasok. Dalam posisi ini, kampus senantiasa berusaha mengintegrasikan diri ke dalam tatanan ekonomi global sebagai perusahaan sektor pendidikan. Ini kemudian menempatkan mahasiswa ke dalam dua posisi yang saling berhubungan: sebagai pekerja, sekaligus komoditi. Dengan demikian Maka program kaum borjuis ini akan gagal tentunya jika orang seperti saya tidak cepat-cepat lulus nantinya saya akan menyumbang angka pengangguran di Indonesia sebab mengalami persaingan yang ketat dengan seperti itu untuk mendukung visi kaum kapitalis akan tergannggu.

***
Selama ini kebanyakan mahasiswa terdoktrin oleh kaum borjuis sebagai pekerja, seperti opini yang diutarakan Andre Barahamin “Sebagai Pekerja, para mahasiswa atau kader Universitas bekerja dalam kurun waktu yang telah dibatasi untuk menciptakan komoditi berupa dirinya yang lebih berpendidikan, lebih ahli dalam suatu bidang, sesuai dengan kebutuhan ‘gizi’ perekonomian”.

Namun, saya sepakat dengan sistem yang mengharuskan Mahasiswa untuk segera mencabut status mahasiswanya dengan alasan seperti yang telah saya uraikan diatas. Permasalahannya disini bukan masalah kapitalis atau bukan, hanya saja saya mempertanyakan sistem tersebut.

Kenapa demikian? Mengutip kalimat dari karangan bung Ahmad “Beberapa teman angkatan yang menjadi mahasiswa D3 sudah dari 2 semester lalu menggarap Tugas Akhir (TA), saya mendapat cerita jika banyak teman yang mengeluh dalam penggarapan TA dan laporan PKL. Mereka sampai mengorbankan waktu istirahat, begadang sampai larut malam karena harus menjaga sampel yang ia uji dilaboratorium, waktu refresing berkurang, sampai efeknya kesehatan tubuh mereka menjadi menurun, lalu sakit” mungkin kalimat tersebut mengambarkan kondisi saya sebagai lakon dalam drama kisah pilu mahasiswa akhir.

Tragisnya lagi terkadang masih ada Dosen pembimbing yang mengekang Kebebasan mahasiswanya untuk selalu mengikuti kemauannya. Seperti teman seangkatan saya, yang mana sampai tulisan ini terbit teman saya tersebut belum selesai melaksanakan Ujian PKL (Praktek Kerja Lapang) dengan alasan Dosen yang banyak macam permintaan. Kenapa saya bicara seperti itu, saya mendengar cerita jika ia harus melakukan PKL di dua lokasi perusahaan dan salah satu lokasinya adalah perusahaan yang diinginkan oleh Dosen dan teman saya mau tidak mau harus PKL di perusahaan tersebut .Di lain cerita, Saya juga mendengar cerita teman seangkatan bahwa ia diharuskan melakukan pengujian dengan judul yang diberikan oleh dosennya. Mau tidak mau dia harus mengikutinya, padahal dia sendiri kurang menyukai hal-hal yang diinginkan dosen tersebut. Tak hanya itu, teman seangkatan saya, yang memilih jenjang D4 juga mengeluhkan kebijakan yang tak menyejahterakan mahasiswa, seperti penentuan Dosen Pembimbing hingga tulisan ini terbit belum kunjung di bentuk. Jika memang mahasiswa diharuskan untuk cepat lulus seharusnya diberikan pelayanan dan fasilitas yang memudahkan mahasiswa, tetapi kenyataannya seperti dua sisi mata uang yang berbeda, Kenapa seperti ini?

Jika apa yang disampaikan bung Ahmad benar adanya tentang lulus dipercepat, mbok yo dipermudah proses Skripsi/TA pak-bu, toh nantinya kumpulan karya itu tak ada apresiasinya, bisa jadi mungkin dikilokan.

Dengan demikian para elit pendidikan seharusnya meninjau lagi aturannya agar bisa membentuk kultur akademis di kampus dan mengarahkan mahasiswa untuk kembali menjadi “pembebas” sebagaimana dinyatakan oleh Paulo Freire.

Kok yah memikirkan semua ini, malah membuat saya jadi kangen mengulang mata kuliah wirausaha. Tentu saja untuk alasan pendalaman, bukan alasan tinggal di kampus berlama-lama. Akhir kata, selamat sarjana bagi yang mengikuti. Doakan kami segera menyusul.

oleh: Sugiyanto